Pada saat ini tidak diketahui persis, apakah porsi
DAU dalam APBN (yaitu minimum 25% dari
total penerimaan domestik) dapat dianggap cukup untuk membiayai fungsi-fungsi
yang diberikan kepada daerah. Yang pasti, jumlah total DAU yang ada sekarang
sesungguhnya merupakan produk “negosiasi” antara pemerintah (dalam hal ini
Menteri Keuangan) dengan DPR. Artinya, angka total tersebut merupakan
“kompromi” politik ketimbang hasil perhitungan obyektif terhadap kebutuhan yang
mungkin muncul. Dari jumlah total itu, sebanyak 10% dialokasikan untuk
pemerintah propinsi, dan 90% sisanya dialokasikan kepada pemerintah kabupaten
dan kota.
Pertanyaan lain yang relevan dengan isu ini adalah
berkaitan dengan kemungkinan terjadinya pemekaran dan penciutan wilayah.
Penciutan wilayah akan menyebabkan jumlah total untuk DAU bisa menjadi terlalu
besar, sementara pemekaran wilayah akan menambah secara drastis jumlah total
dana DAU - karena beban fungsi dasar yang harus disediakan. Dalam kasus
terakhir, angka total 25% terhadap total penerimaan domestik menjadi tidak
terlalu memadai.
Metode pembagian dana alokasi umum (DAU) yang
dikembangkan, memasukkan faktor potensi
dan kebutuhan daerah secara bersama-sama atau dalam satu persamaan dengan
pertimbangan bahwa transfer dana dari pusat ke daerah tidak dapat
disederhanakan dengan hanya mencari selisih antara potensi daerah dan kebutuhan
daerah.
Dengan memasukkan potensi dan kebutuhan daerah dalam
satu persamaan maka aturan yang berlaku adalah daerah yang sudah mempunyai
potensi ekonomi tinggi akan menerima kompensasi dalam jumlah yang kecil dan
sebaliknya untuk yang berpotensi rendah akan menerima kompensasi dalam jumlah
yang besar. Sedangkan untuk daerah yang tingkat kebutuhannya tinggi akan
menerima kompensasi yang besar dan yang tingkat kebutuhannya rendah akan
menerima kompensasi yang kecil.
Prinsip mendasar yang pertama adalah prinsip
kecukupan. Sebagai suatu bentuk penerimaan, sistem DAU harus memberikan
sejumlah dana yang cukup kepada daerah. Dalam hal ini, perkataan cukup harus
diartikan dalam kaitannya dengan beban fungsi. Sebagaimana diketahui, beban
finansial dalam menjalankan fungsi tidaklah statis, melainkan cenderung meningkat
karena satu atau berbagai faktor. Oleh karena itulah maka penerimaan pun
seharusnya naik sehingga pemerintah daerah mampu membiayai beban anggarannya.
Bila alokasi DAU mampu berespon terhadap kenaikan beban anggaran yang relevan,
maka sistem DAU dikatakan memenuhi prinsip kecukupan.
Pertanyaan terpenting yang berkaitan dengan isu
pemerataan ini adalah: apa yang ingin diratakan lewat instrumen DAU? Umumnya
orang berpendapat DAU harus bertujuan untuk meratakan pendapatan antar daerah
(entah dalam pengertian nominal ataupun dalam pengertian perkapita). Walaupun
ini adalah tujuan yang menarik, namun secara konseptual dan praktis tujuan
tersebut bukanlah tujuan yang secara langsung dapat dicapai oleh instrumen DAU,
tujuan pemerataan pendapatan antar daerah hanya baik untuk dipakai sebagai
referensi ideal (atau, tujuan pemerataan yang sifatnya primer) tapi bukan
tujuan yang bisa dicapai secara fungsional. Karena bila transfer DAU ditujukan
langsung untuk menyamakan pendapatan perkapita, maka implikasinya adalah bahwa
desain transfer DAU harus mengacu pada perbedaan dalam tingkat pendapatan antar
daerah. Maksudnya, daerah yang berpendapatan tinggi harus diberikan sedikit
dana sementara daerah yang berpendapatan rendah harus diberikan dana yang lebih
besar.
Tapi
bila ini yang dilakukan maka itu berarti pemerintah pusat mem-penalti daerah yang
berpendapatan tinggi dan memberi insentif agar daerah tetap “tertinggal”.
Struktur insentif seperti ini memiliki dampak negatif terhadap stimulasi
pembangunan daerah. Sehingga, alokasiyang ditujukan langsung untuk memeratakan
pendapatan perkapita akan berpotensi mempenalti daerah-daerah yang telah
berupaya keras untuk meningkatkan PAD-nya.
Berkaitan dengan konsep ini, ada dua elemen yang
perlu dipertimbangkan. Pertama, biaya penyediaan jasa layanan/biaya
pembangunan infrastruktur bervariasi antar daerah. Suatu daerah mungkin
memerlukan sejumlah anggaran yang lebih besar untuk membangun infrastruktur
yang berkualitas sama atau untuk menyediakan jasa layanan yang sifatnya
standar. Hal ini bisa terjadi karena volume pelayanan yang harus disediakan
besar (misalnya jumlah penduduknya besar atau jumlah anak usia sekolah besar),
atau karena biaya konstruksi infrastruktur dan biaya transportasi lebih besar karena
faktor luas wilayah dan kondisi wilayah, atau karena densitas penduduk sangat kecil
(penduduk terpencar dalam wilayah luas). Kedua, sumberdaya keuangan pemerintah
daerah pun bervariasi antar daerah. Bila yang diinginkan adalah variasi beban perpajakan
yang tidak besar (lihat paragraf dalam Pendahuluan), maka tarif pajak dan retribusi
harus kurang lebih sama. Bila itu harus terjadi maka suatu daerah mungkin memperoleh
PAD yang kecil karena jumlah perkantoran, pabrik, dan aktivitas ekonomi masyarakat
(atau dikenal dengan istilah basis pajak) didalam wilayah tersebut relative kecil.
Untuk mencapai tujuan pemerataan sebagaimana
dimaksud dalam UU No.25/1999 maka alokasi DAU harus memasukkan kedua faktor ini
dalam perhitungannya. Tanpa perlakuan yang eksplisit terhadap kedua faktor ini maka
keleluasaan (diskresi) yang diberikan kepada daerah dalam penggunaan DAU akan
kehilangan makna. Sebab, bila suatu daerah memiliki tingkat kebutuhan yang
besar sementara potensi ekonominya kecil, daerah tersebut akan terpaksa
menaikkan tarif pajak untuk mencapai standar jasa layanan yang sama dengan
daerah lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar