Rabu, 15 Januari 2014

ETIKA ADMINISTRASI DALAM PRAKTEK

       A.     ASAS-ASAS UMUM DAN BIROKRASI PEMERINTAHAN YANG BAIK
Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur penting dalam suatu negara. Oleh     karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan jembatan antara norma hukum dan norma etika. Asas-asas tersebut ada yang tertulis dan tidak tertulis. Asas ini sebagai perwujudan pemerintahan yang baik, baik dari sistem dan pelaksanaan pemerintahan. Pada awalnya dengan adanya kewenangan bagi administrasi negara untuk bertindak secara bebas dalam melaksanakan tugas-tugasnya maka ada kemungkinan bahwa administrasi negara melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan yang berlaku sehingga merugikan masyarakat luas. Oleh sebab itu perlu adanya asas-asas untuk membatasi dari wewenang administrasi tersebut sehingga terhindar dari pelampauan wewenang.Dalam Perundangan-undangan formal kita yang tertulis dalam sebuah naskah UU. Di dalam UU sudah ada mengatur tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, UU RI No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dan UU RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Di dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN Pasal 1 (6) yaitu Asas umum pemerintah yang Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam Pasal 3 UU RI No. 28 Tahun 1999 Poin 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 di jelaskan tentang asas umum penyelenggaraan negara yaitu sebagai berikut :
1.      Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. Maksudnya asai ini menhendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi negara.
2.      Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keseraslan, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara.
3.      Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Maksudnya asas ini menghendaki pemerintah harus mengutamakan kepentingan umum terlebih dahulu.
4.      Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskrirninatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5.      Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6.      Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
7.      Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8.      Menurut UU RI No. 32 Tahu 2004 tentang pemerintah daerah bagian kedua tentang asas penyelenggaraan pemerintahan Pasal 20 angka 1 dipaparkan tentang Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas:
a.       Asas kepastian hukum adalah dalam rangka negara hukum yang mengutamakan landasan peratruan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
b.      Asas tertib penyelenggara negara adalah asas yang landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
c.       Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
d.       Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
e.       Asas proporsionalitas adalah asas mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
f.       Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g.      Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
h.      Asas efisiensi, dan
i.        Asas efektivitas.
Berdasarkan peraturan peundangan-undangan di atas diharapkan tidak adanya pelampauan kewenangan pejabat administrasi negara dalam mengeluarkan segala keputusan-keputusan yang berkaitan kepentian hukum sehingga akan tercapainya pemerintahan yang baik. Apabila terjadinya pelampauan kewenangan oleh pejabat administrasi negara, di dalam UU RI No. 5 Tahun 1986 tenteng PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara), itu dimaksudkan bahwa ketika ada sengketa antara pejabat administrasi negara dengan masyarakat maka dalam menyelesaikan sengketa dibuat suatu peradilan hukum yaitu PTUN.

Diluar dari hukum tertulis atau hukum formal ada asas hukum tidak tertulis yang menunjang dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik yaitu:
1.      Asas Persamaan, bahwa hal-hal yang sama harus diperlakukan sama.
2.      Asas Kepercayaan, menuntut supaya badan pemerintahan terikat pada janjinya.
3.      Asas Kepastian hukum, adanya kepastian hukum pejabat administrasi negara dalam mengeluarkan segalah keputusan.
4.      Asas Kecermatan, bahwa segala ketusan yang diambil harus dipersiapkan dan diambil dengan cermat.
5.      Asas Pemberian alasan, bahwa segala keputusan harus dapat didukung oleh alas an-alasan yang dijadikan dasarnya.
6.      Larangan Penyalahgunaan Wewenang, bahwa segala wewenang yang diberikan tidak boleh untuk tujuan lain.
7.      Larangan Bertindak Sewenang-wenang, bahwa segala keputusan yang diambil tidak boleh bertentangan.
Dari mana dari asas ini dipergunakan dalam keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan yang dapat diterapkan. Dalam perkembangan praktek khusus melalui putusan peradilan, asas-asas umum pemerintah yang abik terdapat 13 asas yaitu sebagai berikut:
a.       Asas kepastian hukum
b.      Asas keseimbangan
c.       Asas kesamaan
d.      Asas bertindak cermat
e.       Asas motivasi untuk setiap keputusan
f.       Asas jangan mencampur-adukan kewenangan
g.      Asas permainan yang layak
h.      Asas keadilan atau kewajaran
i.        Asas menanggapi pengharapan yang wajar
j.        Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal
k.      Asas perlindungan atas pandangan hidup
l.        Asas kebijaksanaan
m.    Asas penyelenggaraan kepentingan umum.
Asas umum pemerintahan yang baik tidak berlaku secara universal di setiap negara karena adanya perbedaan budaya, kebutuhan masyarakat yang selalu berubah, dan masalah yang dihadapi di setiap negara berlain-lainan. Dalam konteks negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada pemerintahan Soekarno berhasil meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan program-program pembangunan yang menyentuh rakyat banyak. Pada masa orde baru rakyat mengalami kemakmuran dengan dilaksanakannya pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional, tetapi dalam kenyataannya bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi belum dirasakan merata oleh masyarakat dan stabilitas telah memasung demokrasi/partisipasi rakyat, banyak pelanggaran hak asasi manusia dan menutup akses keterbukaan.
Lepas dari hal tersebut di atas sesungguhnya masih dapat ditemukan asas-asas pemerintahan yang baik. Adapun Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik menurut Wahyudi Kumorotomo dalam buku “Etika Administrasi Negara” adalah:
a.       Prinsip Demokrasi
Pemerintahan dengan prinsip demokrasi pada dasarnya berasas pada kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan jalannya negara dan pemerintahan. Di dalam sistem pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan karena kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi. Dasar dari konsep demokrasi menyangkut penilaian tentang nilai manusia, martabat manusia, dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan terciptanya suatu sistem kemasyarakatan yang setiap warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama dan adil. Oleh karena itu dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi, hendaknya setiap aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan rakyat berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan, dan efisien.
b.      Keadilan sosial dan pemerataan
Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan antarkelompok masyarakat kaya dengan miskin dan antardaerah/wilayah geografis antara perkotaan dengan pedesaan. Oleh karena itu aparat birokrasi agar membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan dengan kebutuhan masyarakat kaya dan masyarakat perkotaan.
c.       Mengusahakan kesejahteraan umum
Suatu kekuasaan negara legitimate, apabila negara tersebut melalui kegiatan-kegiatannya dapat meningkatkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya. Rakyat akan menerima dengan senang kewajiban-kewajiban dari negara yang dibebankan kepada rakyat, asalkan dengan kewajiban tersebut rakyat menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi pemerintah agar mempunyai komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan kepada rakyat.


d.      Mewujudkan negara hukum
Mewujudkan negara hukum adalah amanat dari konstitusi. Maksud dari perwujudan negara hukum adalah aparatur pemerintah bersama dengan seluruh rakyat akan mewujudkan suatu pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi aparat pemerintah dalam melaksanakan tugas pemerintahan harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
e.        Dinamika dan efisiensi
Dinamika hendaknya diartikan sebagai kemampuan adaptasi organisasi yang baik sehingga ia sanggup mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat menelorkan kebijakan-kebijakan yang tepat. Dinamika dalam melaksanakan tugas-tugas negara merupakan prasyarat untuk dapat menciptakan birokrasi pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang. Di samping dinamika sebagai ukuran kinerja bagi birokrasi pemerintahan, maka ukuran lain adalah efisiensi. Efisiensi dalam hal ini diartikan adalah tetap mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan terhadap publik, tetapi tetap memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, prosedur layanan, dan biaya yang dikeluarkan.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, tugas Pegawai Negeri, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata, menyelenggarakan tugas negara, menyelenggarakan tugas pemerintahan, dan menyelenggarakan tugas pembangunan. Menurut Undang-Undang Kepegawaian tersebut di atas Pegawai Negeri terdiri dari Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pegawai Negeri Sipil.
Dalam undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa pegawai negeri harus bebas dari pengaruh golongan dan partai politik. Oleh karena itu pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Mengacu pada pengertian “Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil” – Rianto Nugroho D, Kebijakan Publik ─, maka tugas-tugas tersebut di atas juga merupakan tugas Pegawai Negeri Sipil (aparat birokrasi) karena Pegawai Negeri Sipil bagian dari Pegawai Negeri.
Adapun hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat dan pemberian pelayanan publik tersebut akan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pelayanan publik yang meliputi transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, dan keseimbangan hak dan kewajiban.
Pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu Kelompok Pelayanan Administratif, Kelompok Pelayanan Barang, dan Kelompok Pelayanan Jasa. Adapun contoh-contoh dalam setiap kelompok pelayanan adalah:
1.      Kelompok Pelayanan Administratif
Contohnya: Pelayanan pengurusan akte kelahiran, akte perkawinan, akte kematian, sertifikat tanah, izin mendirikan bangunan, surat izin mengemudi, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, pensiun pegawai, pensiun janda/duda, dan sebagainya.
2.      Kelompok Pelayanan Barang
Contohnya: Pelayanan penyediaan kebutuhan sembilan bahan pokok, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan sebagainya.
3.      Kelompok Pelayanan Jasa
Contohnya: Pelayanan pengangkutan penumpang, pengangkutan barang, kesehatan, pendidikan, perbankan, telepon, listrik, dan sebagainya.

Alasan Pentingnya Etika Dalam Birokrasi.
Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus Dwiyanto, bahwa :
Pertama, masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalah yang berkembang, birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain. Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam “grey area “seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.
Peraturan Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi. Berbicara tentang Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi itu sendiri karena ketika kata Etika Birokrasi didengungkan, secara tertulis memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para aparat birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongkrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sesuai aturan yang telah ditentukan. Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian.
Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga. Dengan sendirinya Kode Etik itu dibaca secara bersama-sama pada kesempatan tertentu yang kadang –kadang diikuti oleh suatau wejangan dari seorang pimpinan upacara disebut inspektur upacara ( IRUP ), maksudnya adalah untuk menciptakan kondisi-kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mental yang diperlukan, juga untuk menciptakan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan upacara-upacara nasional. Setiap organisasi, misalnya PNS atau TNI dan lain-lain ada usaha untuk membentuk Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan bermoral.
Namun sampai sekarang belum diketahui sampai seberapa jauhnya dan juga belum dapat dipantau secara jelas dari perbuatan seseorang apakah yang bersangkutan melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena belum jelas batasannya dan apa sangsinya, sehingga benar-benar dapat dipergunakan sebagai ukuran atau criteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak. Tetapi apapun dan bagaimanapun maksud yang hendak dicapai dengan membentuk, menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain. Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan main para aparat Birokrasi.
Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau Aparat Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai berikut :
1.      Aturan mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual, dimana diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsure aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dalam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 dan perubahannya yaitu Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk mewujutkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu kewajiban dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian.
2.      Aturan mengenai kedudukan Pegawai Negeri sipil Pegawai Negeri sipil adalah unsure aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, mengatur masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan penuh tersebut mengandung pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah aturan yang telah ditentukan.
3.      Penghargaan Pegawai Negeri sipil Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat perlu diberikan penghargaan kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan harapan agar menjadi contoh kepada yang lain dalam melaksanakan tugas.
4.      Keanggotaan Pegawai negeri dalam Partai Politik Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral, supaya terhindar dari kepentingan partai politik, maka sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan memundurkan diri demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi.
5.      Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peratuiran Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan, sangsi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri yang menjadi kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, antara lain mengatur tentang :
-          Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah
-          Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji jabatan berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima sangsinya
-          Menyimpan rahasia negara dan atau rahasi jabatan dengan sebaik-baiknya
-          Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara
-          Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material
-          Mentaati ketentuan jam kerja
-          Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat
-          Bersikap adil dan bijaksana terhadaop bawahannya
-          Menjadi atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya
-          Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan kariernya
-          Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama pegawai dan atasannya. Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi, yaitu larangan seperti:
-          Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri sipil
-          Menyalahgunakan wewenangnya
-          Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara
-          Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutanMemasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan
-          Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya
-          Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah
-          Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.
Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri yang notabenen merupakan aparat birokrasi. Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sangsi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis sangsi tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :
1.      Hukuman disiplin ringan antara lain: teguran lisan, teguran tertulis, pernyataan tidak puas secara tertulis
2.      Jenis hukuman disiplin sedang, antara lain: penundaan kenaikkan gaji berkala untuk paling lama satu tahun, penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk paling lama satu tahun, Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun
3.      Jenis hukuman disiplin berat, terdiri dari: penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling lama satu tahun, Pembebasan dari jabatan, Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil, dan  Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Dari sangsi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi atau hukuamn yang telah ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada penegakkan sangsi atas pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sangsi social saja, karena sangsi social hanya efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus tegas berupa sangsi hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di atas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan segala sangsi yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat membuat aparat birokrasi lebih beretika. Jadi selain etika yang berlaku dalam masyarakat dimana aparat birokrasi merupakan bagian dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus terikat dengan aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi mempunyai aturan main sendiri yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai negeri dan Sapta Marga bagi TNI, serta aturan Kepegawaian yang berlaku dan juga ketentuan atau sangsi yang tegas dan nyata. Ini diharapkan dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika dan bermoral.
      B.     ADMINISTRASI DAN NILAI-NILAI YUDISIAL NORMA PENGAWASAN
Pembuatan keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Sebaigan besar proses administrasi berupa serangkaian pemilihan alternative tindakan atau pengambilan keputuasn. Waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada mebutuhkan penaganan segera. Sementara itu pertimbangan efesiensi terkadang tidak memungkinkan bagi para pejabat pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Karena itulah para pejabat pemerintah dituntut untuk mampu menjawab persoalan-persoalan secara pragmatis.
Maka dalam menjalankan tugas-tugasnya para pejabat pemerintah selalu berada ditengah-tengah kontradiksi antara pertimbangan pragmatis dan pertimbangan legalitas. Dia harus ampu menyeimbangkan antrara preferensi pribadi, kemauan membuat undang-undang, serta peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga tempat ia mengabdi.
Untuk membuat kaputusan haruslah dilaksanakan dengan hasil pertimbangan yang baik dan tidak merugikan kedua belah sisi, baik Pemerintah maupun Masyarakat. Karena hasil dari keputusan tidak jarang membawa keributan ataupun demo-demo dari kalangan masyarakat yang tidak terima dengan keputusan dari pemerintah tersebut. Sebagai contoh kenaikan harga bahan bakar minyak atau ditariknya subsidi oleh pemerintah yang berdampak pada kenaikan harga barang dipasaran.
Pembuatan keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada membutuhkan penanganan segera. Pertimbangan lain untuk mengambil keputusan-keputusan prakmatis ialah kenyataan bahwa rumusan-rumusan legal yang ada acapkali tidak mampu menjawab situasi permasalahan yang tengah dihadapi. Ketika mengambil suatu kebijakan, para pejabat public kadang kurang bisa melihat keseluruhan aspek yang terkait dengan suatu permasalahan public. Maka dalam menjalankan tugas-tugasnya npara pejabat pemerintah selalu berada ditegah-tengah kontradiksi antara pertimbangan pragmatis dan pertimbangan legalitas.

Perkembangan system ketatanegaraan diseluruh dunia selama setengah abad terakhir menunjukan meluasnya pengakuan atas hak-hak rakyat. Pernyataan-pernyataan tentang hak asasi itu antara lain meliputi kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, hak hidup dan hak milik, serta hak atas perlindungan yang sama. Ada dua manfaat yang dapat ditarik dari keterlibatan lembaga-lembaga peradilan tersebut. Pertama tentu saja adalah terlindunginya kepentingan-kepentingan rakyat, terutama pihak warga Negara yang kedudukannya lemah. Kedua adalah manfaat yang diperoleh dari reformasi yang berkesinambungan atas tata kerja dalam institusi-institusi public serta cara-cara dalam pengambilan kebijakan oleh aparat-aparatnya. Kemudian perkembangan signifikan yang ke tiga ialah ekspansi tanggung jawab legal bagi administrator publiK.
Hak-hak individu konstitusional yang seharusnya diperhatikan dan diakui oleh aparatur pemerintah justru dilanggar, dan tanggung jawab administrator public terhadap kesejahteraan umum menjadi luntur. Maka dalam rangka menciptakan system administrasi yang tertib dan bersih kerja sama antara lembaga-lembaga kehakiman dengan lembaga-lembaga administrative sangat penting peranannya. Beberapa model dapat diajukan untuk melihat kemungkinan penerapannya dimasa mendatang:
1.      Penguasaan ( coping ): Ketegangan antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan administrative mungkin tan pernah berakhir
2.      Konvergensi: Mengasumsikan bahwa interaksi antara aparat kehakiman dan administrator public akan menghasilkan harmoni
3.      Kemunduran judicial ( judicial withdrawal ): Sebagian kritikus, akademisi dan praktisi tetap mengecam campur tangan atau intervensi yang berlebihan para jaksa dan hakim dalam administrasi Negara
4.      Perluasan hak ( expanding rights ): Asumsi yang dipakai ialah bahwa kemungkinan jangka panjang untuk memperkuat dan memperluas hak-hak asai individual akan terus bertambah
5.      Kultur administrative baru ( new administrative cultur ): Kelima model interaksi masing-masing punya keunggulan dan kelemahan, dan kesemuanya punya peluang untuk diterapkan atau dikembangkan.

Untuk mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan administrasi Negara secara judicial pemerintah bersama-sama dewan perwakilan telah mengesahkan undang-undang PTUN. Untuk menciptakan system administrasi pemerintahan yang tertif, mencegah kebocoran uang Negara, serta menjamin efektifitas dan efisiensi, lembaga-lembaga pemerintah harus memiliki pemeriksa yang berpotensi dan berkualitas tinggi. Dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan, aparat juga harus memiliki sikap batin tertentu. Diantara kualitas batin tersebut adalah sikap sanksi (suspicious mind), ingin tahu lebih banyak (inquisitive mind), logis dan analitis (logical and analytical mind), dan akurat (accurate). Melalui Keputusan pemerintah No. 67 tahun 1980, misalnya telah diatur tentang kedudukan Badan Pertimbangan Kepegawaian bagi instansi-instasi pemerintah.
Dalam Bab IV pasl 24 telah dirumuskan susunan organisasi Badan Pertimbangan Kepegawaian, yang terdiri dari:
1.      MENPAN sebagai ketua merangkap anggota
2.      Kepala BAKN (Badan Administrasi kepegawaian Negara) sebagai seketaris merangkap anggota
3.      Sekertaris Kabinet sebagai anggota
4.      Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman merangkap anggota
5.      Jaksa Agung Muda bidang Pembinaan pada Kejagung RI sebagai anggota
6.      Dirjen PUOD (pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah) Depdagri sebagai anggota
7.      Ketua pengurus KORPRI pusat sebagai anggota.
Dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan public, para pembuat keputusan tidak akan terlepas dari kepentingan umum dalam pengertian normative maupun praktis. Untuk membahan kepentingan umum dalam konteks etika kebijakan public, kiuta harus membahas etika individual maupun etika societal (societal ethich). Pada tingkat generalisasi yang lebih rendah, ada beberapa sub criteria yang menyangkut manfaat dan biaya societal. Dari keseluruhan tolak ukur normative yang dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi-organisasi public, tampak bahwa “kebajikan” yang dapat diberikan oleh aparatur pemerintah hanya dapat terwujud kalau mereka selalu mengacu kepada kepentingan umum secara obyektib. Ungkapan yang tepat untuk menunjukan bahwa aktivitas pemerintah berpiuhak pada kepentingan umum ialah netralitas birokrasi.
         C.    KEARIFAN DALAM KEBIJAKAN
Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama beberapa dasawarsa terakhir menampakan tiga kecenderungan utama. Pertama, meningkatnya kemakmuran dengan semakin terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Kedua, meluasnya kekuasaan birokrasi pada setiap jenjang administrasi pemerintah. Dan yang ketiga, meningkatnya kekuasaan politis peran para eksekutif berarti meningkat pula peranan birokrat dan administratior dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.
Landasan etis bagi kebijakan yang diambil seorang pejabat pemerintah, yang pertama yang dibicarakan adalah legitimasi kekuatan memaksa (coersive power) untuk mengatur sebagian dari hak-hal warga negara. Oleh sebab itu, sifat arif (wise) dalam ppemerintahan karena kedudukannya akan menentukan keputusan-keputusan yang membatasi orang lain. Permasalahan yang dihadapi oleh seringkali begitu rimit, karena mereka tidak hanya diwajibkan untuk mengatasi segi-segi teknis, tetapi juga segi-segi manajerial yang menyangkut hubungan antar manusia. Setiap keputusan yang dibuat harus sesuai dengan tuntutan rasa keadilan, tidak menjatuhkan harga diri orang lain, dan membawa perkembangan ke arah yang baik bagi organisasi pemerintahan sendiri. Keputusan seperti itu jelas hanya dapat dibuat oleh pribadi-pribadi yang memiliki kearifan (Kumorotomo, 2007, hal. 327).
Ketika seseorang pejabat pemerintah mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, makin dituntut syarat kearifan itu karena ia akan semakin banyak terlibat dalam bidang manajerial ketimbang teknis. Dapat dinalar bahwa semakin tinggi jabatan seseorang semakin banyak orang lain yang akan dipengaruhi oleh keputusan-keputusan pejabat tersebut, sehingga semakin beresiko ketidakpuasan di antara para bawahan ataupun masyarakat. Pejabat yang arif menurut Kumorotomo adalah pejabat yang mampu menjaga supaya keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar dengan landasan kebenaran yang hakiki.
Tanggung jawab seorang pejabat pemerintah dengan demikian bukan hanya kepada organisasi yang dikelolanya atau kepada atasannya saja, tetapi juga kepada warga negara yang secara langsung ataupun tidak langsung terkena kebijakan yang diambilnya.
Kebenaran suara hati menuntut agar manusia tidak dipaksa untuk bertindak melawan suara hati. Hak ini berlaku tanpa kecuali. Tetapi lain halnya dengan hak untuk dibiarkan bertindak sesuai dengan suara hatinya. Hak untuk bertindak sesuai dengan suara hatinya menemukan batasnya pada hak orang lain untuk bertentangan sama dengan besarnya untuk hidup sesuai dengan suara hatinya sendiri. Kebebasan suara hati tidak boleh sampai mengurahi hak orang lain atau bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang wajar. (Magis-Suseno, 1999, hal. 149). Pribadi yang arif akan sangat berperan dalam penentuan kebenaran suara hati dalam tindakan setiap pejabat publik. Tidak ada tuntutan seseorang untuk selalu melakukan apa yang diucapkan oleh hati tetapi apabila beriringan dengan sifat kearifan sangat berdampak positif terhadap pelaksanaan dan perwujudan kepentingan masyarakat.
Keterbukaan aparatur pemerintah dan perlakuan yang adil atau fair menjadi penting dalam wacana tugas layanan publik. Manusia yang bermoral, demikian juga administrasi publik menjadi etis hanya akan ada jika dan jika administratur itu memang memiliki kemamuan bersikap arif sehingga beretika, sehinga seperti yangdikatakan oleh Sayuti dalam (Sayuti, 2011, hal. 110) tanpa adanya takut akan hukuman atau harap akan ganjaran, tanpa takut celaan atau harap akan pujian, dan tanpa takut terkena sanksi atau memperoleh promosi.
Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan, mengingat dewasa ini terdapat kecenderungan meningkatnya peran pejabat publik atau administrator pemerintahan dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Disinilah arti penting kearifan, yang merupakan landasan etis bagi para aparatur pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.
Setiap tindakan yang dilaksanakan hendaknya tidak hanya menggunakan ranah praktis dan politis saja tetapi harus menggunakan kearifan dalam bertindak sehingga keputusan yang diambil dapat menjadi sebuah amanat yang dapat dijalankan dengan benar. Konsep kearifan menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan penempatan atau mutasi sehingga akan meminimalisir timbulnya konflik yang berkepanjangan dan ketidaksepahaman, untuk bisa menjalankan proses pemerintahan yang baik dalam masa transisi dari sentralistik ke desentralisasi tidak semua kemauan Pejabat Publik langsung diterapkan tetapi perlu ada perenungan dan pertimbangan kearifan sehingga pemerintahan akan berjalan dengan baik. Sehingga dapat mewujudkan kebijakan umum yang diukur maka welfare state dapat terwujud. Proses pergantian pejabat pemerintahan di sejumlah instansi perlu ada perimbangan rasio antara pola meritsistem dan kearifan sebagai sumber legitimasi dalam melakukan pergantian jabatan. Jika hanya menuruti keleluasaan yang dimiliki kepala pemerintahan maka akan menimbulkan ketidakstabilan dalam roda organisasi.
Metode-metode yang dipakai dalam pembuatan kebijakan bisa beraneka ragam, dan masing-masing mengandung konsekuensi yang harus diterima. Seorang pejabat dapat saja menggunakan ancaman untuk mengambil keputusan, tetapi kepuasan publik yang merasa tidak dihargai pendapatnya merupakan hal yang harus dipertimbangkan. Sebaliknya kebijakan-kebijakan partisipatif mungkin akan memberikan kepuasan bagi keinginan publik untuk berpendapat sendiri, tetapi pengambilan keputusan jelas membutuhkan waktu lebih lama. Kepura-puraan atau kesungguhan seorang pejabat terhadap pemecahan masalah-masalah rakyat juga dapat diketahui dari kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Ini disebabkan pada dasarnya kebijakan publik adalah kebijakan kolektif, kebijakan yang melibatkan dan berpengaruh pada banyak pihak.
Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya terhadap gagasan tertentu, individu atau kelompok secara positif maupun negatif. Pejabat publik juga perlu menyadari bahwa setiap prosedur selalu mengandung paradoks. Setiap prosedur harus dilakukan dalam rangka menjamin kepastian layanan, namun kekakuan terhadap prosedur justru melemahkan daya tanggap organisasi pemerintahan. Ini akan menghilangkan ketergantungan administrasi pada perilaku administrator yang berubah-ubah, mencegah favoritisme dan meniadakan bias pada kepentingan pribadi pejabat.
Untuk menerapkan kekuasaan secara benar, mengelola sumber daya negara dengan tanggung jawab, menentukan alternatif keputusan secara objektif, dan menerapkan prosedur dengan baik, seorang pejabat harus memiliki kualitas pribadi yang prima. Bailey menguraikan tiga kualitas yang diperlukan bagi seorang pembuat kebijakan, yaitu sebagai berikut:
1.      Optimisme
Sifat ini hendaknya tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap enteng semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk berasumsi tentang kemungkinan untuk mendapatkan hasil-hasil yang positif. Ia mengandung keyakinan bahwa peluang untuk memecahkan persoalan yang selalu ada.
2.      Keberanian (Courage)
Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat kebijakan harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politisi, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat, atau intimidasi dari para pakar dan orang-orang yang mengandalkan favoritisme. Suatu komitmen mempertahankan proses legal, seperti yang digariskan dalam hukum dan kebijakan yang lebih tinggi, ketika berhadapan dengan orang-orang yang hendak mengeruk sumber daya negara memanfaatkan kedudukan membutuhkan kelugasan atau impersonalitas.
3.      Keadilan Yang Berwatak Kemurahan Hati
Bailey menggambarkan sifat ini sebagai kualitas moral yang paling penting bagi pejabat publik. Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan baku yang sama serta suatu kepekaan atas perbedaan individual. Oleh karena itu, kearifan seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk menjadi perumus kebijakan yang baik. Kepekaan dan empati terhadap karena bagaimanapun juga pejabat publik harus melayani manusia, yang tentunya punya martabat, harga diri dan perasaan. Dalam melayani masyarakat umum, yang perlu selalu diperhatikan ialah ketentuan mengenai keadilan prosedural. Telah dikemukakan bahwa pelaksanaan keadilan prosedural. Keadilan proseduran mempersoalkan akses dan perlakuan (access and treatment). Kelompok sasaran hendaknya dilibatkan dalam proses kebijakan, termasuk dalam pembuatan aturan main dan penghakimannya dan berlaku bagi semua.
Pada dasarnya kebijakan publik terdiri dari serangkaian proses pemilikan dan penentuan prioritas. Lahirnya landasan ilmu yang mendukung rasionalitas pengambilan keputusan, baik itu ilmu psikologi, antropologi, politik, ekonomi, maupun sosiologi, sesungguhnya juga merupakan hasil dari proses pemilihan. Tindakan manusia merupakan hasil dari pilihan manusia. Pilihan-pilihan keputusan dibuat atas nama kehendak individu maupun kolektif dengan berlandaskan harapan atas masa depan dan perkiraan atas konsekuensi dan tindakan yang dilakukan sekarang.
Sudah barang tentu kaidah etis mengandaikan bahwa para pembuat kebijakan publik akan meletakkan preferensi pada kemakmuran dan kebaikan masyarakat luas, dan meletakkan harapannya pada kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara. Namun untuk membuat keputusan-keputusan yang tepat seorang pejabat harus pula memiliki kapasitas intelektual yang memadai. Teori peilihan melihat pembuatan keputusan sebagai suatu tindakan yang disengaja (tidak berlangsung dengan sendirinya) yang berdasarkan empat hal berikut ini:
1.      Pengetahuan tentang alternatif-alternatif tindakan
Pembuatan keputusan harus memahami sejumlah alternatif untuk bertindak. Alternatif-alternatif tersebut dirumuskan beradasarkan situasi dan dipahami sebagai sesuatu yang tidak mendua atau tidak menagndung ketaksaan (unam-biguosly)
2.      Pengetahuan tentang konsekuensi
Pembuatan keputusan memahami konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan alternatif, atau setidak-tidaknya memiliki pegangan atas probabilitas keberhasilan atau kegagalan tindakan tersebut.
3.      Pengaturan preferensi yang konsisten
Pembuatan keputusan memiliki fungsi-fungsi objektif yang memungkinkan kensekuensi-konsekuensi dari alternatif tindakan dapat dibandingkan dengan nilai-nilai subjektif mereka.
4.      Aturan keputusan
Para pembuat keputusan harus memakai aturan-aturan untuk memilih sebuah alternatif tindakan berdasarkan konsekuensi dan pereferensi mereka.
Dalam model pembuatan keputusan yang sempurna diasumsikan bahwa pembuat keputusan mengetahui setiap alternatif dari suatu keputusan, memahami masing-masing konsekuensinya, memiliki subjektif yang utuh tentang konsekuensi-konsekuensi tersebut, dan pemilihan keputusan dilakukan dengan menyeleksi alternatif yang mengandung nilai harapan tertinggi. Struktur asumsi yang sama juga mendasari rekayasa keputusan modern. Nasihat yang dapat diajukan bagi seorang pembuat keputusan publik tetap sejalan dengan standar rasionalitas di atas yaitu: tentukan alternatif-alernatifnya; rumuskan dengan jelas preferensi-preferensi anda; perkiraan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap alternatif dan probabilitas kejadian; terakhir, pilih alternatif yang memaksimalkan nilai yang diharapkan.
Para pejabat pembuat kebijakan hendaknya memiliki kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang pernah dibuat dan melihat setiap permasalahan secara serius. Kearifan juga mengandungarti bahwa pembuat keputusan tidak bertindak gegabah dan menganggap ringan suatu persoalan. Dalam hal ini Leys mengemukakan tiga macam bahaya berikut ini dalam meninjau suatu isu kebijakan.
1.      Bayaha karena memecahkan masalah secara umum
Masalah-masalah yang dijadikan contoh kasus teoritis dan dijadikan acuan etis oleh para penulis atau pembuat keputusan terdahulu seringkali bersifat tipikal. Kesulitan timbul karena sebagai masalah yang harus dihadapi oleh pejabat publik bukanlah masalah tipikal. Di dalam setiap masalah, senantiasa terdapat sisi unik yang membedakan masalah, senantiasa terdapat sisi unik yang membedakan kasus nyata dari kasus-kasus tipikal yang pernah terjadi. Oleh karena itu, pengambilan kebijakan yang baik tidak pernah memecahkan masalah secara umum. Pemecahan masalah tidak dapat mengambil generalisasi sebagai pedoman, jadi kita tidak dapat memulai pemecahan masalah dengan ungkapan “biasanya”, “menurut pengalaman yang sudah-sudah”, “pada umumnya”, atau pengandai-andaian yang tidak objektif. Salah satu unsur pokok pemilihan alternatif secara rasional adalah keseriusan dalam menelaah persoalan.
2.      Bahaya kerena menerima secara buta teori-teori formal tentang pembutan kebijakan
Orang yang dianggap sudah tahu banyak dan berpengalaman tetapi tidak akrab dengan praktik pembuatan keputusan yang sesungguhnya masih akan menemui kegagalan. Betapapun sempurnanya cara berfikir seseorang kalau hanya mengandalkan teori-teori formal dia tidak akan menghasilkan keputusan-keputusan yang baik. Seorang yang terlalu berpegang pada teori dan kaidah hukum formal akan gagal mengantisipasi tiga hal berikut ini yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan.
a.       Akumulsain preseden dan kebiasaan-kebiasaan tak tertulis
Pembuat keputusan yang kuang dekat dengan persoalan aktual akan gagal melihat situasi yang sesungguhnya. Ini disebabkan karena interpretasi yang ditambahkan pada sebuah sistem perundang-undangan akan semakin banyak, dan untuk menentukan inti kaidah yang asli orang tentunya membutuhkan interaksi langsung dengan situasi sehari-hari.
b.      Pemerintah yang tak tampak
Pemerintah tak tampak adalah organisasi-organisasi swasta yang dengan kekuatan finansialnya punya kemampuan untuk memberi “hadiah” atau “menghukum” para politisi. Dan keputusan-keputusan yang memengaruhi kepentingan-kepentingan swasta tertentu mungkin lebih banyak dibuat oleh keolompok-kelompok penekan atau tokoh-tokoh lobby yang kuat.
c.       Kemustahilan operasional
Dalam pemerintah, aktivitas yang dilakukan begitu banyak sehingga pejabat-pejabat yang bertanggung jawab tidak melakukan pemeriksaan terperinci dan lebih sering menandatangani laporan-laporan yang dibuat oleh bawahan. Kebanyakan pejabat sudah tidak menguasai lagi pemecahan masalah pada tingkat operasional.
Kearifan dalam mengambil kebijakan publik ditentukan pula oleh kesediaan aparat untuk tidak begitu saja mempercayai informasi yang datang dari satu pihak. Setiap persoalan, lebih-lebih yang menyangkut kepentingan masyarakat, perlu ditelusuri secara tuntas dengan segala konsekuensinya harus diantisipasi sebelum keputusan dijatuhkan. Pejabat hendaknya tidak berpegang pada laporan-laporan diats kertas yang diberikan oleh bawahan. Dia perlu melihat tanggapan dari lembaga-lembaga yang lain, merujuk pada peraturan hukum yang ada, melihat pemberitaan pers tentang masalah yang bersangkutan, mencermati keluhan-keluhan warga masyarakat melalui rubrik-rubrik pembaca di surat kabar atau pengaduan-pengaduan langsung, dan akhirnya mengambil keputusan berdasarkan wawasan manejerial yang holistik.
D.    KODE ETIK  DALAM PELAKSANAAN ADMINISTRASI NEGARA
Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu proses khusus. Akan tetapi seperti yang telah diuraikan kedudukan etika administrasi negara berada di antara etika profesi dan etika politik sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat politik. Hal yang pertama-tama perlu diingat bahwa kode etik tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanki atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dari kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan dan konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan. Dengn demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personalianya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas pada kaum profesi karena sesungguhnya setiap pekerjaan  dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.
Dalam kode etik itu bisa menjadi sarana untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi kerena bagaimanapun juga organisasi hanya dapat meraih sasaran-sasaran akhirnya kalau setiap pegawai yang bekerja di dalamnya memiliki aktivitas dan perilaku yang baik. Seoarang birokrat dan penulis mengatakan:
Kode etik adalah suatu alat untuk menunjang pencapaian tujuan suatu organisasi atau sub-organisasi atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu organisasi. Sesuatu alat itu tentunya bisa saja diadakan kalau ia sudah dirasakan perlunya ..... Pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik. Hukum etik itu biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau kelompok, sebagai suatu patokan tentang sikap mental yang wajib dipatuhi oelah para anggota dalam perjalanan tugasnya.
Maka disamping berfungsi sebagai patokan-patokan sikap mental yang idela bagi segenap unsur organisasi, kode etik dapat pula mendorong keberhasilan organisasi itu sendiri. Organisasi akan berhasil jika para pegawai memiliki inisiatif-inisiatif yang baik, teliti, jujur, dan memiliki loyalitas yang tinggi. Kualitas-kualitas seperti inilah yang hendak dicapai melalui perumusan dan pelaksanaan kode etik.
Manfaat lain yang akan didapat dari perumusan kode etik ialah bahwa para aparat akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya dari negara atas nama rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah (incumbency obligation) diatas kepentingan-kepentingannya akan karir dan kedudukan. Pejabat tersebut akan melihat kedudukan sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandaikan bahwa para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral dan sekaligus pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-tindakan yang nyata. Dalam kaitan ini Fredericson dan Hart mengatakan:
. . . . . public servant must be both moral philophers and moral active, which would require: first, an understanding of, and believe in, regime, and, second, a sense of extensive benevolence for the people of the nation.
Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur, tatakerja, dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah. Sabagai pelaksana kepentingan umum, para pejabat wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat tertentu. Dan  sebagai mansuia yang bermoral, pejabat harus memperhatikan nilai-nilai etis di dalam bertindak dan berperilaku. Dengan perkataan lain, seorang pejabat harus memiliki kewaspadaan spiritual. Kewaspadaan profesional bearti bahwa dia harus menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan kedudukan sebagai seorang pembuat keputusan. Sedangkan kewaspadaan spiritual merujuk pada penerapan nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana, dan hemat, tanggung jawab, serta akhlak dan perilaku yang baik.
Mengenai rumusan eksplisit kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah, ada banyak sumber yang bisa dilacak. Salah satu sumber formal yang sering disebut adalah ketentuan mengenai Sapta KOPRI, keputusan musyawarah Nasional KOPRI yang ketiga, No. Kep-05/MUNAS/1989 tanggal 1 Juni 1989 tentang penyempurnaan kode etik Korps Pegawai Republik Indonesia bahkan dengan tegas menyatakan bahwa Sapta Prasetya inilah kode etik yang diberlakukan bagi para pegawai. Selengkapnya prasetya tersebut berbunyi sebagai berikut:
1.      Kami anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah warga negara Kesatuan Republik Indonesia yang setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2.      Kami anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah pejuang bangsa taat kepada negara dan pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang 1945
3.      Kami anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang selalu mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat dari pada kepentingan pribadi atau golongan
4.      Kami anggota Korps Pegawai Republik Indonesia menjunjung tinggi kehrmatan bangsa dan negara, bersikap jujur, bersemangat, bertanggung jawab, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela
5.      Kami anggota Korps Pegawai Republik Indonesia senantiasa mengutamakan pelayanan kepada masyarakat, berdisiplin, serta memegang teguh rahasia negara dan rahasia jabatan
6.      Kami anggota Korps Pegawai Republik Indonesia mengutamakan persatuan-persatuan bangsa, kesejahteraan masyarakat serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia
7.      Kami anggota Korps Pegawai Republik Indonesia senantiasa bekerja keras serta berusaha meningkatkan pengetahuan dan kemampuan untuk kelancaran pelaksanaan tugas.
Seorang pegawai atau pejabat akan mengucapkan atau bahkan menghafal Sapta Prasetya maupun sumpah jabatan dengan mudah. Namun perenungan, penghayatan, serta pengamalan dari apa yang mereka ucapkan itu yang jauh lebih penting. Masalahnya adalah bahwa masing-masing orang sering tidak menggunakan persepsi yang sama dalam menafsirkan butir-butir sumpah dan prasetya tersebut, apalagi sejak semula rumusan-rumusan itu hanya dimaksukan sebagai gagasan dasar saja. Oelah sebab itu untuk menerapkan kaidah-kaidah etis tersebut, para pegawai perlu merujuk kepada peraturan-peraturan kepegawaian yang lebih operasional. Salah satu peraturan yang memuat ketentuan yang lebih mudah dipahami adalah Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di dalam peratuan imi diuraikan secara lebih jelas hal-hal yang diharuskan dan dilarang dilakukan bagi pegawai atau pejabat pemerintah. Utuk memberi peringatan dan mengajak para pegawai agar melaksanakan prinsip-prinsip etika dalam tugas-tugasnya, kebanyakan instansi pemerintah justru memasang peraturan disiplin ini, bukan Sapta Prasetya atau yang lainnya.
Di samping peraturan dan ketentuan diatas, unsur-unsur etis yang langsunng menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang pegawai dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Berikut ini diuraikan kedelapan unsur penilaian secara singkat:
1.      Keseetiaan
Yang dimaksud kesetiaan disini adalah ketaatan, pengabdian dan kesetiaan kepada pancasila, UUD 1945, Negara, serta Pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan pengabdian adalah penyumbangan pikiran dan tenaga secara ikhlas dengan mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi dan golongan. Kecuali dua pengertian ini ada pula konotasi kesetiaan yang berarti tekad dan kesanggupan untuk menaati, melaksanakan, mengamalkan sesuatu  yang disertai penuh kesadaran dan tanggung jawab.
2.      Prestasi kerja
Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah:

a.       Kecakapan
b.      Keterampilan
c.       Pengalaman
d.      Kesungguhan
e.       Kesehatan
3.      Tanggung jawab
Tanggung jawab berarti kesanggupan seorang pegawai untuk menyelesaikan  pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya, tepat pada waktunya dan berani memikul resiko atas keputusan yang dibuatnya. Bagian-bagian dari tanggung jawab adalah:
a.       Menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat pada waktunya
b.      Kesalahannya tidak dilemparkan pada orang lain
c.       Menyimpan dan memelihara barang milik negara
d.      Dalam segala keadaan tetap berada ditempat
e.       Mengutamakan kepentingan dinas
f.       Berani dan ihklas memikul resiko
4.      Ketaatan
Yaitu kesanggupan seorang pegawai untuk menaati segala peraturan perundang-undangan, peraturan kedinasan yang berlaku, pearaturan kedinasan dari atasan yang berwenang serta sanggup tidak melanggar larangan yang ditentukan. Bagian-bagian dari ketaatan adalah:
a.       Menaati peraturan kedinasan dari atasannya
b.      Menaati peraturan perundang-undangan yang ada
c.       Memberikan kepada masyarakat layanan sebaik-baiknya sesuai dengan bidang tugasnya
d.      Menaati ketentuan jam kerja dan sopan santun
5.      Kejujuran
Yang dimaksud dengan kejujuran adalah ketulusan hati dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. Maka kejujuran dapat dinilai dari keadaan berikut:
a.       Melaksanakan tugas secara ikhlas
b.      Tidak menyalah gunakan wewenangnya
c.       Hasil kerjanya dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya

6.      Kerja sama
Yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang pegawai untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. Jadi nilai kerja sama dapat diketahui bila seorang pegawai:
a.       Mengetahui bidang tugas orang lain yang ada hubungannya dengan tugas mereka
b.      Mampu menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat orang lain yang diyakini besar
c.       Bersedia mengambil keputusan yang diambil secara sah
d.      Bersedia mempertimbangkan usul orang lain
e.       Mampu berkerja bersama-sama orang lain
f.       Menghargai pendapat orang lain
7.      Prakarsa
Inisiatif atau prakarsa adalah kemampuan seorang pegawai untuk mengambil keputusan, langkah-langkah serta melaksanakannya sesuai dengan tindakan yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari atasan. Bagian-bagian dari prakarsa adalah:
a.       Berkemampuan memberi saran kepada atasan
b.      Berusaha mencari tatacara kerja baru yang baik
c.       Tanpa menunggu perintah, berkemauan melaksanakan tugas
8.      Kepemimpinan
Kepemimpinan berarti kemampuan seorang pegawai atau pejabat untuk meyakinkan orang lain sehingga dapat dikerahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok. Jadi kepemimpinan merujuk kepada kemampuan manejerial dari para pegawai yang memiliki bawahan dan atau memangku jabatan. Bagian-bagian dari kepemimpinan adalah:
a.       Berusaha menggugah semangat dan menggerakkan bawahan
b.      Berusaha menumpuk dan mengembangkan kerja sama
c.       Mampu mengemukakan pendapatnya dengan jelas
d.      Bersedia mempertimbangkan saran-saran bawahan
e.       Memperhatikan nasib dan kemajuan bawahan
f.       Mengambil keputusan cepat dan tepat
g.      Mengetahui kemampuan bawahan
h.      Menguasai bidang tugasnya, bertindak tegas tanpa memihak, serta memberikan teladan yang baik.
Dari banyak uraian tentang nilai-nilai etika yang ditujukan untuk jajaran pegawai negeri, sangat terasa bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan begitu formal dan kaku. Uraian –uraian tersebut sebagian besar berisi daftar keharusan dan larangan tanpa ungkapan mengenai dasar-dasar mengapa suatu tindakan diharuskan atau dilarang dan tanpa nuansa yang menyentuh nurani. Uraian kode etik seperti itu mungkin memang efektif bagi para pegawai rendahan yang hanya mengetahui ungkapan “ya” atau “tidak”. Tetapi bagi para pegawai atau pejabat yang lebih memiliki pemikiran kritis, redaksi seperti itu agaknya kurang menyentuh dan kurang mengajak untuk merenungi tindakan dan perilaku mereka. Orang-orang seperti ini memerlukan reasoning atau pembenaran tindakan-tindakan etis dan memerlukan suatu rumusan kode etik yang mengandung nuansa.
Demikianlah, kode etik mencoba merumuskan nilai-nilai etis luhur kedalam bidang tertentu, dalam hal ini pada tugas-tugas administrasi negara. Sudah barang tentu kode etik sekedar merupakn pedoman betindak. Mengenai pelaksanaannya dalam perilaku nyata, tergantung kepada niat baik dan sentuhan moral yang ada dalam diri pegawai atau pejabat sendiri. Namun karena kode etik dirumuskan untuk penyempurnaan pekerjaan, mencegah hal-hal yang  buruk, dan untuk kepentingan bersama, maka setiap pegawai dan pejabat diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus. Paham idealisme etik mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu semata-mata karena itu tidak tahu norma untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang menuju arah kebaikan. Yang diperlukan adalah suatu peringatan dan sentuhan nurani yang terus menerus untuk menggugah kesadaran moral dan melestarikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan interaksi antar individu.
E.     ETIKA INDIVIDUAL DAN SOSIAL
1.      Etika Individual
Pada dasarnya, etika individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri. Ada sementara sosiolog yang berkeberatan memakai perkataan "individu" sebagai sebutan bagi manusia yang berdiri sendiri, "manusia perseorangan" (Lysen, 1984:8). F. Oppenheimer (1922), seperti dikutip Lysen, menamakan individu itu suatu paham yang sangat problematis. Dan seperti Bergson, ia, kata Lysen, mengemukakan pertanyaan, "Di mana mulainya dan di mana berakhirnya asas hidup individu itu?" Kemudian ia sampai kepada kesimpulan, bahwa dalam arti ilmu alam yang sebenarnya, individu itu hanya satu, yaitu seluruh kehidupan yang luas yang meliputi ruang dan waktu; dan dalam arti psikis baginya "indivi­du" itu, terlebih lagi dalam arti biologis, merupakan suatu paham yang sangat relatif dan gradual.
Dalam arti yang asli, kata "individu" yang diturunkan dari kata Latin, "individuum" itu berarti: yang tak terbagi. Jadi, sama halnya dengan perkataan "atom" yang berasal dari bahasa Yunani dan mempunyai arti demikian juga, maka kata "individu" tadi merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Bagi ahli-ahli ilmu alam sekarang, atom itu bukan lagi bagian benda yang terke­cil yang tak dapat dibagi, seperti anggapan para penyelidik dahulu. Meskipun demikian, mereka tetap bekerja dengan paham "atom" itu, dan pemecahan atom yang dulu dianggap tak terbagi itu, bagi mereka tidak mengandung pengertian yang bertentangan lagi (Lysen, 1984: 8-9).
Sama halnya dengan paham "individu" dalam ilmu-ilmu sosial, penyelidikan-penyelidikannya jarang atau tidak pernah mengenai manusia dalam keseluruhannya, yang terdiri atas daging dan darah itu, dan tambahan pula mempunyai kehidupan jiwa yang sangat majemuk. Hanya beberapa unsur dari manusia, terutama tabiatnya, yang memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia.
Karena itu, perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak bisa dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan.
Menurut Bouman (1980:15), salah satu kekhilafan yang sangat umum ialah anggapan, bahwa manusia "menurut kodratnya" adalah egois dan bahwa ia mempunyai kebebasan yang sangat luas. Tiap orang mengenal "aku"-nya sendiri, tetapi sedikit orang yang menginsafi, betapa erat "aku" ini tergantung kepada "kita". Manusia baru menjadi manusia, karena hidup bersama dengan manusia yang lain. Juga pada waktu ia menyangka, bahwa ia menentang sekelilingnya sampai pada dasar jiwanya.
Dalam bukunya Psichology of Adjustment and Humanrelation­ships, Calhoun dan Acocella (1990:312-313) menjelaskan secara rinci soal pengaruh-mempengaruhi ini. Dikatakan, "... Anda mem­pengaruhi diri sendiri dari dalam ketika anda sedang dipengaruhi dari luar. Anda memilih tekanan sosial diri anda sendiri. Konsek­uensinya, meskipun kekuatan pengaruh sosial besar sekali, anda dapat memperoleh kebebasan pada tingkat tertentu."
Pengaruh sosial pada dasarnya terjadi sewaktu kita berpikir atau bertindak sebagai tanggapan terhadap tindakan sebelumnya dari orang lain. Bagaimana penyesuaian diri kita dipengaruhi oleh proses pengaruh sosial langsung yang sangat kuat: peneladanan, pencocokan, dan pembujukan? Satu kemungkinan jawabannya ialah bahwa pengaruh ini merupakan ancaman terhadap penyesuaian yang baik tersebut; pengaruh itu menyusup ke dalam prinsip kita dan merusak kejujuran dan kemandirian kita (Ibid: 310).
Sikap ini sangat tunduk terhadap pengaruh sosial. Sikap merupakan sekumpulan keyakinan dan perasaan yang melihat mengenai objek tertentu, serta kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan suatu cara tertentu. Sikap memungkinkan memiliki tiga fungsi penting dalam kehidupan sosial: mengorgani­sasikan pengalaman kita , menegaskan keinginan kita terhadap persetujuan orang lain, dan melindungi harga diri kita. Sikap datang dari pengalaman pribadi, pemindahan emosi yang menyakit­kan, serta pengaruh sosial, orang tua, teman sebaya, dan media massa merupakan sumber penting dari pengaruh dalam pembentukan sikap.
Ada tiga proses utama di mana orang bisa dipengaruhi. Perta­ma adalah pengambilan model, meliputi mempelajari perilaku baru melalui jalan meniru orang lain. Peneladanan adalah bentuk bela­jar yang agak khusus karena tidak bergantung kepada penguatan eksternal. Semakin kuat orang itu, dan semakin memberi penghar­gaan serta semakin mirip orang itu dengan si pengamat, maka semakin mungkin dia dipilih sebagai teladan bagi si pengamat. Seperti alasan beberapa ahli teori, jika perilaku dapat menimbul­kan sikap, maka kita bisa menganggap bahwa sewaktu kita mempela­jari perilaku baru termasuk peneladanan, sikap yang baru akan menyusul.
Proses kedua dari pengaruh sosial adalah pencocokan. Menco­cokkan berarti mengubah keyakinan atau perilaku sesorang supaya sama dengan keyakinan dan perilaku kelompok. Dalam istilah sosi­ologi, kelompok merupakan kumpulan individu yang mempunyai tujuan yang sama, bertindak sesuai dengan peran masing-masing satu sama lain, dan berinteraksi sesuai norma bersama. Penelitian Solomon Asch, seperti dikutip Calhoun dan Acocella, menunjukkan kekuatan kecenderungan kita untuk melakukan pencocokan. Teori perbandingan sosial dari Festinger menyatakan bahwa pencocokan tersebut mung­kin merupakan sebagian dari akibat kebutuhan orang untuk menegas­kan pendapat mereka dengan membandingkannya dengan pendapat orang lain. Pencocokan dapat pula dikatakan konsekuensi dari kebergan­tungan kita kepada orang lain. Ciri-ciri tertentu dari kelompok, masalah yang harus diputuskan, dan individu membantu kemungkinan terjadinya pencocokan.
Pembujukan, penggunaan pengaruh yang disengaja melalui penyampaian informasi, merupakan proses ketiga dari pengaruh sosial. Ciri-ciri tertentu komunikator, pesan, dan komunikan adalah penting dalam menentukan efektivitas pembujukan.
Bentuk khusus dari pembujukan disebut propaganda, yang meliputi penggunaan informasi yang tidak benar untuk maksud kepentingan diri sendiri. Perbedaan antara propaganda dan pembu­jukan biasa, tidak jelas batasnya. Propaganda bersifat manipula­tif, tetapi pembujukan, juga demikian dalam tingkat tertentu.
Penyesuaian kita dengan jelas dipengaruhi oleh kekuatan proses pengaruh langsung yang kuat. Kita tidak dapat dan tidak akan mencoba menghindari proses tersebut seluruhnya, namun kita tidak boleh membiarkan diri kita dikendalikan tanpa daya oleh proses itu. Reaksi balik psikologis, penarikan kita kembali dari pengaruh yang mengancam kebebasan kita, memilih, dapat berfungsi sebagai tanda bahwa pengaruh sedang mendesak kita. Kita akan memberikan tanggapan terhadap tanda ini dengan melakukan pendeka­tan aktif terhadap pengaruh -- yaitu, mempertimbangkan dan kemu­dian memilih atau menolak pengaruh itu.
Akhirnya, mengapa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena kita harus selalu mengaitkan hal ini kepada konsep diri. Konsepsi Mead, misalnya, mengenai diri mengacu, dalam arti sepenuhnya, pada kesalingtergantungan antara individu dengan masyarakat. Ia menempatkan diri di dalam masyarakat. Diri muncul dari interaksi dengan orang lain di dalam masyarakat (Karp dan Yoels, dalam Sunarto, Kamanto, ed., 1985:113).

2.      Etika Sosial
Pada dasarnya etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab manusia terhadap lingkungan hidup (Magnis-Suseno, dkk, 1981:8).
Sedikitnya, ada dua masalah yang timbul dalam etika sosial (Zubair, 1990:105). Pertama, tujuan etika itu memberitahukan bagaimana kita dapat menolong manusia dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang etikus sosial tidak hanya harus tahu norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula kebutuhan tersebut tadi, dan sebab-sebab timbulnya kebutuhan itu.
Masalah kedua, dalam etika sosial lebih mudah timbul beragam pandangan dibandingkan etika individual. Norma-norma harus selalu diterapkan pada keadaan yang konkret, setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu melakukan kebaikan.
Dalam kenyataan terbukti bahwa tidak hanya ada satu kewaji­ban, melainkan pelbagai kewajiban. Sebabnya, di dunia ini tidak hanya satu, tetapi ada beragam norma. Wajib yang beragam itu tidak terlepas satu sama lain, tetapi bersatu dan berkaitan dan membentuk sistem hirarki norma. Inilah yang dicoba untuk memecah­kan persoalan apabila ada benturan norma atau benturan kewajiban. Pengetahuan dan kesadaran terhadap hirarki mana yang lebih tinggi sangat diperlukan dalam rangka ini.
Dalam kehidupannya, secara pribadi dan sosial, manusia memerlukan sejumlah tujuan yang nonmaterial. Setiap sistem kema­syarakatan memerlukan sejumlah tujuan yang jamak di antara para individunya, yang tanpa itu kehidupan sosial, dalam pengertian yang sebenarnya, tidak akan mungkin. Karena, kehidupan sosial berarti kerjasama dan usaha mencapai tujuan-tujuan bersama, baik material maupun spiritual.
Tujuan bersama dari sebagian manusia mungkin adalah materi­al, seperti perusahaan-perusahaan dagang dan industri, yang dibentuk oleh sejumlah orang yang menyediakan modal, dan yang lainnya menyediakan tenaga kerja.Namun, menurut Mutahhari (1987:66), masyarakat manusia tidak dapat dikelola seperti sebuah perusahaan, karena basisnya sangat berbeda dengan perusahaan dagang. Sementara orang lain seperti Bertrand Russell, dalam pandangan Mutahhari, menganggap basis etika sosial hanyalah suatu kepentingan individual. Mereka meman­dang etika sosial sebagai semacam kontrak antarindividu, yang mereka junjung tinggi sebagai alat yang paling baik untuk melin­dungi kepentingan mereka.
Untuk menggambarkan maksudnya, lanjut Mutahhari, Russell memberikan contoh seperti berikut. Ia berkata: "Saya ingin memi­liki sapi milik tetangga saya, tetapi saya tahu bahwa bila saya melakukannya, ia akan merampas milik saya, dan tetangga lain pun mungkin akan berbuat demikian. Jadi, saya bukannya mendapat keuntungan, tetapi malahan menderita kerugian. Maka saya pikir, lebih baik saya menghormati hak miliknya, dan membiarkannya tetap memiliki sapinya, supaya saya pun dapat tetap memiliki kepunyaan saya."
Russell percaya bahwa basis etika sosial adalah penghormatan terhadap hak-hak individual. Kita, ujar Mutahhari, dapat mengata­kan bahwa perampok pun mempunyai hubungan semacam itu, ketika bersepakat untuk merampok dan memaksakan suatu jenis keadilan di antara sesama mereka, karena mereka tidak dapat bertindaksen­diri-sendiri. Itulah filsafatnya. Motonya humanitarian, cinta kasih kepada sesama makhluk. Tetapi filsafatnya berlawanan dengan itu. Dengan memandang kepentingan diri sendiri sebagai basis etika sosial, kita akan menganggap seorang individu terpaksa bekerja sama dengan orang-orang lain, karena ia takut akan reaksi orang lain itu, apabila mereka mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang serupa. Tetapi, apabila seseorang mencapai suatu tahap di mana ia yakin bahwa orang-orang lain terlalu lemah untuk dapat menyakitinya, maka tidak akan ada perlunya memenuhi prinsip-prinsip moral itu. Demikian kata Murthada Mutahhari.
selanjutnya, pembahasan mengeni etika sosial ini dibatasi pada bidang-bidang yang, menurut Magnis-suseno, dkk (1991:8), sekarang ini paling aktual. Bidang-bidang yang dimaksud, melipu­ti: sikap terhadap sesama, etika keluarga, etika profesi, etika politik, etika lingkungan hidup, dan kritik ideologi-ideologi. Pembahasan keenam bidang tersebut berikut ini hanyalah sebagai pengenalan singkat, yang untuk selanjutnya diperlukan pembahasan tersendiri secara lebih komprehensif.
F.     MORAL INDIVIDU DAN MORAL SOSIAL
Banyak dari masyarakat yang kurang memahami moral sosial ( moral dalam kehidupan berbangsa), bahwa moral sosial tidak hanya dilihat dari tatacara berpakaian atau tatacara tutur kata. Hakikinya Moral sosial adalah sudut pandang dari cara berpikir. Perbedaan mendasar Moral sosial dan moral agama adalah pada tujuannya, memang ajaran moral banyak terdapat dalam kitab-kitab suci yang bila disimpulkan menjadi kaidah emas (golden rule) namun prinsip kitab suci adalah aturan-aturan yang dibuat oleh Tuhan, juga dengan harapan akan pengampunannya yang disertai Karma atau dalam agama monoteis: surga dan neraka.
Maka moral agama adalah perbuatan yang akan dipertanggung jawabkan nantinya terhadap hubungan manusia khusus dengan Tuhan. Sedangkan moral sosial adalah tindakan kita terhadap manusia lain, dimana perbuatan itu berdampak langsung dengan kehidupan antar sesama manusianya.
Tanggung jawab kita terhadap lingkungan sekitar. Dimana tindakan bermoral atau amoral akan berdampak langsung dengan kehidupan sekitar. Berbuat baik karena kita menginginkan kebaikan ada di dunia ini, atau berbuat tindakan amoral/kesalahan, namun dengan meninggalkan sudut pandang pembenaran (membenarkan kesalahan, menjadi sikap yang umum saja) dengan sudut pandang moral, kesalahan tidak bias dengan pembenaran, kita menyadari bahwa perbuatan tersebut adalah amoral, sehingga kesadaran tersebut akan mulai kita perbaiki perlahan.
Hal prinsip akan gagasan moral sosial, adalah meyakini agama yang kita yakini, tanpa menyalahkan agama lain, karena hak tersebut adalah hak Tuhan, maka kita sebagai manusia yang hidup di bumi yang bisa kita lakukan adalah saling menghormati harkat dan martabat sesama manusia. Masyarakat pada umumnya memiliki standarisasi bahwa polapikir adalah logika, kesalahan ini memiliki banyak faktor (sejarah peradaban, juga kolonialisme termasuk ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg di eropa turut membesarkan perkembangan Logika) para pemikir Logika dimulai dari era Thales (era yunani) Ptolemius (ere helenic) St Thomas aquinas (era Baroque) samapai era renaissance dimana para pemikir logika berkembang pada abad 15 dan didukung dengan penemuan mesin cetak, sehingga kebiasaan membaca tidak lagi menjadi kalangan eksklusif, namun mulai menyebar ke masyarakat umum di barat, juga faktor adanya era kolonialisme yang dimualai abad ke 16, dalam gagasan westernisasi penduduk lokal, termasuk mengedepankan logika.
Sedangkan pemikir moral para pemikir dari timur: Saya kutip pembahasan dari bukunya Jan Romein , buku Aera- Europa.. di sebutkan (bahwa , dunia pernah mengalami krisis moral global (300-500 bc) kemudian datanglah beberapa orang yang berusaha mengatasi krisis tersebut : di cina ada Lao tse dan Confusius (Kong hucu) di india ada Sidharta Gautama, di persia ada Zarathustra, di mesir ada Akhenaton (satu2nya pharaoh yg percaya akan satu Tuhan/monoistic) mereka semua mengharapkan agar terbentuknya pola pikir berdasarkan moralitas, kembali ke masa awal dimana manusia tunduk kepada Tuhan).
Namun karena pemikir besar moral terwakili menjadi agama, maka manusia merasa tabu untuk membuka buku-buku para pemikir tersebut, beda dengan mudahnya kita membaca buku etika Aristoteles atau sang pangeran Nicollo Machiavelli atau Spinoza. Disinilah sekatan- sekatan ajaran moral terbentur, sekatan yang dibuat oleh manusianya sendiri.
Beberapa perbadingan moral sosial dengan berbagai macam sudut pandang sebagai berikut:
1.      Antara Moral Sosial dan Budaya
Banyak dalam kebiasan budaya atau adat istiadat atau kebijakan kuno yang sudah berumur lebih lama dari keberadaan sebuah bangsa, dalam hal ini Indonesia. Sebuah contoh : pandangan mengukur / menakar orang dari bebet bibit bobot.. ini sudah tidak memiliki korelasi lagi terhadap perkembangan moral sosial, dimana kita melihat sifat sesama manusia berdasarkan caranya bersikap, bukan bebet bibit bobotnya. Juga seperti falsafah-falsafah lain yang sudah tak memiliki kekuatan dalam menyeimbangan derasnya era globalisasi, maka langkah progresive moral sosial pun sangat berhubungan dengan budaya lokal.
2.      Antara Moral Sosial dan identitas bangsa
Bangsa-bangsa di belahan bumi lain yang umurnya sudah lebih panjang, memiliki kecendrungan memiliki karakter yang sama terhadap polapikir masyarakatnya, seperti polapikir USA yang sangat eropa sekali ( asal usul pendatang ) juga karakter bangsa Jepang dan India yang sudah begitu kental dikarenakan budaya-budaya kuno atau kisah-kisah legenda yang sudah terpatri didalam pikiran setiap masyarakatnya, sehingga membentuk menjadi identitas bangsanya.

Dalam hal Indonesia, mengingat usia Indonesia yang masih muda ( 66 tahun ) yang sebelumnya adalah kerajaan-kerajaan lokal. Maka budaya yang ada di Indonesia adalah budaya sumatra atau budaya kalimantan, budaya jawa, budaya sulawesi dan seterusnya, budaya yang jauh lebih tua keberadaannya dari keberadaan negara Indonesia ( hal yang lumrah mengingat negara Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar