BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Hak paling sejati bagi seorang buruh adalah upah, Di zaman yang sangat cepat
berkembang ini membuat kebutuhan ekonomi tiap penduduk meningkat, ditambahnya
tanggungan menghidupi keluarga para pekerja itu sendiri mengakibatkan banyaknya
pekerja yang tidak mampu untuk menhidupi keluarganya sendiri. Minimnya Upah
serta tunjangan yang diterima oleh para buruh merupakan salah satu faktor
banyaknya buruh yang tidak cukup dalam menghidupi dirinya dan keluarganya tersebut.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM)
cukup banyak, sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masyarakat di Indonesia
yang merupakan potensi Supply tenaga
kerja bagi pasar domestic maupun luar negeri.
Melimpahnya penawaran tenaga kerja di Indonesia ternyata kurang diimbangi
dengan pemberian upah yang memuaskan bagi tenaga kerja Hal ini senada dengan
pernyataan dari KWIK GIAN KIE (1999:559) bahwa:
Untuk Jangka waktu yang sangat lama, buruh di Indonesia sangat tenang. Mereka
tidak menuntut apa-apa, Upahnya sangat rendah, sehingga menjadi faktor promosi
sehingga Investor Asing masuk ke Indonesia memanfaatkan buruh yang sangat
murah. Buruh yang murah itu juga yang menjadi ujung tombak persaingan
Indonesia dalam penetrasi produk manufakturnya di pasaran Internasional. Buruh
di Indonesia dilarang mogok.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, buruh merasakan ketidakadilan yang
mereka rasakan sekitar tahun 1996, Menteri Tenaga Kerja Indonesia sempat
menaikkan Upah Minimum Regional (UMR) sampai pada titik 100%
sebagai dampak dari tuntutan perbaikkan nasib para tenaga kerja melalui unjuk
rasa dan mogok kerja. Sampai saat ini hal itu masih berlanjut, setiap ada
perubahan upah minimum oleh pemerintah selalu dibarengi dengan protes dari para
tenaga kerja.
Selain
Upah para pekerja seharusnya juga mendapatkan tunjangan, dalam hal tunjangan
pengusaha wajib memberikan kepada pekerjanya, contohnya seperti THR (Tunjangan
hari Raya) seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 1994
tentang THR. Tetapi dalam kenyataannya buruh
tidak secara otomatis mendapatkan apa yang semestinya menjadi haknya, karena
pada kenyataan banyak para majikan (pengusaha) yang tidak memberikan hak atas
THR kepada buruhnya sesuai dengan ketentuan. Banyak cara ditempuh oleh pihak
pengusaha untuk mengindar dari kewajibannya untuk membayar THR, dan
banyak cara dia melipat-gandakan kerja menjelang hari raya untuk menjaga stok
barang. Termasuk membeli hari libur dan lembur dengan upah yang rendah.
Apabila
kita menyimak mengenai kondisi ketenagakerjaan di Indonesia maka kita akan
melihat kondisi yang kompleks dan rumit yang ada di dalamnya dan hal ini terus
menerus bermunculan dan seolah-olah tak pernah ada penyelesaian, terutama untuk
golongan buruh. Apabila kita mencoba untuk menilik bagaimana dengan sejarah
perburuhan di Indonesia, bisa dikatakan kedudukan para buruh selalu tragis dan
menyedihkan. Hal ini bukan karena mereka harus mati-matian dalam bekerja untuk
mendapatkan upah yang setara, tetapi nasib mereka juga dipertaruhkan. Semenjak
kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, nasib kaum buruh selalu memprihatinkan,
mereka selalu menjadi orang-orang yang termarginalkan yang seolah-olah mereka
menjadi orang yang tak pernah jelas masa depannya. Meskipun dewasa ini banyak
perserikatan buruh atau kelompok-kelompok sosial yang membahas buruh, belum
dapat menyelesaikan masalah buruh. Meskipun kaum buruh itu sendiri sering turun
ke jalan untuk melakukan aksi demo terhadap pemerintah atau terhadap majikannya
tetapi hal ini tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah
dan pengusaha, terutama ketika rezim reformasi.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Pengertian Upah Buruh dan Tunjangan
serta Jenis-Jenisnya
a. Pengertian
Upah Buruh
Upah
adalah kewajiban yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada buruh yang telah
bekerja memenuhi tuntutan produksi pengusaha. Pemenuhan hak ini harus
memperhatikan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tanggung jawab terhadap
pemenuhan hak ini bukan hanya berada pada pihak pengusaha saja, tetapi
pemerintah mempunyai kewajiban yang besar untuk melindungi kaum buruh dari
kesewenangan pengusaha dalam memberikan upah kepada buruh.
Untuk itu, pemerintah membuat suatu ukuran
pengupahan yang layak yang diatur dalam peraturan perundang undangan Negara
agar dipatuhi oleh pengusaha. Aturan mengenai pengupahan diatur didalam UU
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri (Permen) Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) No.17 Tahun 2005 tentang Komponen dan
Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Kedua aturan inilah yang
menjadi acuan pemerintah dan pengusaha dalam menetapkan upah bagi buruh.
Yang
dimaksud dengan upah dalam UU No.13/2003 adalah hak buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukannya. Namun, pengertian
upah tidak hanya dipahami sebagai imbalan saja sebagaimana diatas, tetapi upah
harus dipahami sebagai satu hak yang didapat dan harus sesuai dengan apa yang
dihasilkan dari kerja buruh, sehingga ada nilai keadilannya.
Upah
Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan
oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk
memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya.
Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi berbeda-beda, maka
disebut Upah Minimum Propinsi. Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 menyatakan bahwa
penentuan upah minimum diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan yang
layak. Upah minimum ditentukan oleh Gubernur setelah mempertimbangkan
rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Pemberian
Upah merupakan suatu imbalan/balas jasa dari perusahaan kepada tenaga kerjanya
atas prestasi dan jasa yang disumbangkan dalam kegiatan produksi. Upah kerja
yang diberikan biasanya tergantung pada:
v Biaya keperluan hidup
minimum pekerja dan keluarganya
v Peraturan perundang –
undangan yang mengikat tentang Upah Minimum Regional (UMR).
v Kemampuan dan
Produktivitas perusahaan
v Jabatan, masa kerja,
pendidikan, dan kompetensi.
v Perbedaan jenis
pekerjaan
Pengusaha
mempunyai kewajiban untuk membayar Upah kepada pekerjanya (Buruh) upah buruh
tidak dibayar apabila dia tidak bekerja akan tetapi ada beberapa hal pengusaha
tetap harus membayar upah karyawannya, diantaranya yaitu:
v Pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua
masa haidnyasehingga tidak dapat melakukan pekerjaan
v Pekerja tidak masuk
bekerja karena menikah, menikahkan,mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri
melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu
atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal
dunia
v Pekerja tidak dapat
melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap Negara
v Pekerja tidak dapat
melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
v Pekerja bersedia
melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya
dapat dihindari pengusaha
v Pekerja melaksanakan
hak istirahat/cuti
v Pekerja melaksanakan
tugas serikat pekerja atas persetujuan pengusaha
v Pekerja melaksanakan
tugas pendidikan dari perusahaan
b. Pengertian
Tunjangan
Tunjangan
adalah tambahan benefit yang ditawarkan perusahan pada pekerjanya. Ada 2 macam
tunjangan, tunjangan tetap dan tidak tetap. Yang dimaksud tunjangan tetap
adalah tunjangan yang diberikan secara rutin per bulan yang besarannya relatif
tetap, contoh: tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan
keahlian/profesi. Sedangkan, tunjangan tidak tetap adalah tunjangan yang
penghitungannya berdasarkan kehadiran atau performa kerja, seperti tunjangan
transportasi, tunjangan makan, insentif, biaya operasional.
Ada
Tunjangan yang diatur ada juga yang tidak. Undang – Undang tidak mengatur
mengenai tunjangan tidak tetap (tunjangan makan, transportasi, dll). Kebijakan
mengenai tunjangan jenis ini, tergantung perusahaan masing-masing. Untuk
Tunjangan Kesejahteraan/Kesehatan, dalam UU no 13 pasal 99 mengatur
adanya Jaminan Sosial untuk para pekerja.
Adapula
Tunjangan Hari Raya (THR), pemberian THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan
diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER.04/MEN/1994
tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Menurut
peraturan tersebut, pengusaha diwajibkan untuk memberi THR Keagamaan kepada
pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan atau lebih secara
terus-menerus. Pekerja yang bermasa kerja 12 bulan secara terus menerus atau
lebih, mendapat THR minimal satu bulan gaji. Sedangkan Pekerja/buruh yang
bermasa kerja tiga bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan,
mendapat secara proporsional, yaitu dengan menghitung masa kerja yang sedang
berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah.
BAB
III
ANALISIS
PENELITIAN
3.1 KASUS BURUH DI INDONESIA
Peristiwa
perburuhan yang akhir-akhir ini terjadi dikatakan sebagai fenomena gunung
es, yakni dimana permasalahan buruh yang terlihat hanya bagian permukaannya
saja, namum sebenarnya masalahnya sangat rumit. Permasalahan buruh ini bukan
hanya pada masalah teknis melainkan pada tataran ekonomi, yaitu mengarah pada
gejala Neo-Liberalisme dan Globalisasi Ekonomi.
Dari sisi
politik, buruh termaginalkan baik dihadapan penguasa maupun dihadapan
pengusaha. Dari sisi ekonomi, kondisi kehidupan buruh sangat buruk, diantaranya
: upah rendah, jam kerja panjang, jaminan sosial dan kesehatan yang buruk,
pemecatan, diskriminasi, pelecehan seksual(terhadap buruh perempuan khususnya).
Dari sisi budaya, potensi buruh untuk berfikir kritis masih dihambat oleh
serangkaian nilai-nilai yang dipaksakan oleh penguasa maupun pengusaha. Buruh
perempuan juga masih dihambat oleh nilai-nilai yang menempatkan perempuan
pada posisi sekunder. Sedangkan dari sisi hukum, buruh masih ditempatkan
sebagai faktor produksi dan selalu ditempatkan pada posisi kalah dan
“tersangka”, jadi seolah-olah hukum berpihak pada pengusaha.
Derasnya
arus reformasi, ternyata sama sekali tidak menyediakan ruang politik bagi kaum
buruh untuk ikut serta dalam menentukan agenda perubahan politik
ekonomi-politik. Gerakan buruh untuk menuntut hak-hak normatifnya yang marak
memasuki era reformasi dinilai mengganggu jalannya agenda reformasi karena akan
memacetkan aliran modal ke Indonesia. Permasalahan lain yaitu dimana terjadi
krisis moneter pada tahun 1997 mengakibatkan maslah baru bagi golongan buruh,
yaitu : PHK massal, naiknya harga kebutuhan pokok, bahan bakar, biaya kesehatan
dan sekolah membungbung hingga 200%. Dari hal-hal tersebut kaum buruh
mengajukan permintaan kenaikan UMR 15%, namun sayangnya hal ini ditolak oleh
para pengusaha.
Berbagai
peristiwa unjuk rasa dan pemogokan buruh yang banyak terjadi di Indonesia,
terutama dalam menuntut kenaikan upah minimum yang tidak pernah mendapatkan
perhatian secara serius dari pemerintah dan pengusaha sehingga banyak menimbulkan
ketidakpastian di kalangan buruh. Buruh ini menuntut hak hidup sebagai pekerja
yang layak mendapatkan upah sevara cukup dan baik. Selain penuntutan masalah
kenaikan upah minimum yang layak, para buruh ini ingin mendapatkan perlakuan
yang manusiawi dari majikannya. Tidak sedikit buruh yang mendapatkan perlakuan
tidak menyenangkan dari majikannya, seperti: intimidasi, pelecehan dll.
Kehidupan
buruh yang tidak kunjung membaik dari waktu ke waktu dan pemenuhan
hak-hak dasarnya inilah yang menjadi indikator utama dimana mereka melakukan
suatu tindakan yang mungkin bisa dinilai anarkis. Saya rasa hal ini cukup
wajar, karena seorang buruh-pun ialah manusia biasa yang menginginkan kehidupan
yang sejahtera, sentausa dan layak. Berganti orde dan penguasa di Indonesia
tidak serta merta kemudian merubah kesejahteraan buruh namun yang ada malah
sebaliknya, dari mulai adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sampai penindasan
dan ekploitasi.
Masalah
perburuhan ini bisa dikaji melalui teori dengan menggunakan Teori Konflik
hasil pemikiran Karl Marx.Dalam tatanan sosial masyarakat, golongan buruh
bila dilihat dari teori ini terdapat dua macam kelas dalam masyarakat yaitu :
kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua golongan kaum ini berada dalam suatu tataran sosial
hirarkis dimana kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum protelar dalam
proses pengembangan atau melakukan hal-hal industri. Ketegangan hubungan antara
kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar,yang berujung pada
sebuah revolusi atau aksi besar-besaran dan mogok
kerja.
Teori
konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada
keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami
konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan, hal ini dilihat dari aksi buruh
dalam menuntut hak-hak dasarnya. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat dan disini yang berperan
dalam hal tersebut adalah golongan penguasa (birokrat) maupun pengusaha.
Dengan
adanya konflik inilah seperti aksi mogok buruh dan aksi turun ke jalan, ini
bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial. Dalam teori konflik disebutkan
perubahan sosial ditujukan karena adanya konflik kepentingan, ya konflik
kepentingannya dimana (kembali lagi) para buruh menuntut pemenuhan hak-hak
dasarnya untuk hidup layak.
3.2 CONTOH KASUS NASIB BURUH NELAYAN DALAM
MENGGAPAI UMR
Pekerjaan sebagai
nelayan di Sumatera Utara sampai saat ini statusnya tidak jelas. Umumnya bagi
nelayan yang tidak memiliki alat tangkap sendiri. Nasib nelayan yang bekerja
pada alat tangkap yang pemiliknya adalah pengusaha nelayan nasib mereka
bagaikan gelombang air dilautan, terombang ambing kesana kemari dalam ketidak
pastian.
Status
mereka sebagai nelayan ada yang mengatakan sebagai buruh nelayan, ada juga yang
mengatakan sebagai buruh lepas. Jika dikatakan sebagai buruh tentu para nelayan
ini juga layak untuk menerima Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Mereka juga layak untuk mendapat santunan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Jamsostek) maupun Ansuransi Kesehatan (Askes) dan segala pasilitas yang
diberikan oleh perusahaan sesuai dengan peraturan pemerintah.
Namun
sampai saat ini pemerintah tidak pernah mengambil sikap untuk memperjelas
status para buruh nelayan ini, apakah sebagai buruh nelayan atau sebagai buruh
lepas, atau sebagai nelayan murni. Yang naibnya, Berbagai Organisasi Nelayan
tumbuh bagaikan jamur dimusim hujan yang mengklaim organisasi nelayan ini
adalah organisasi yang memperjuangkan nasib nelayan untuk menciptakan kehidupan
para nelayan yang sejahtera. Tapi nyatanya apa yang dikatakan oleh para
pengurus organisasi nelayan itu hanya sebuah live-servis yang isinya bual
belaka.
Ribuan
jumlah nelayan dipesisir pantai Sumatera Utara khususnya yang bekerja pada alat
tangkap yang dimiliki oleh pengusaha nelayan hanya dijadikan sebagai sapi
perahan belaka. Seperti nelayan pukat apung yang bekerja selama dua puluh empat
jam/hari hanya memperoleh gaji sebesar Rp 40.000.-/dua puluh empat jam. Gaji
yang Rp 40.000.- ini minus dengan fasilitas santunan yang dijanjikan oleh
pemerintah.
Jangankan
untuk mendapatkan santunan sesuai dengan peraturan pemerintah, malah jika
terjadi kecelakaan dilaut yang membuat sinelayan cedera maupun meninggal bagi
buruh nelayan ini tidak mendapat santunan jasa rahaja. Karena apa?, karena
menurut pihak Jasa Raharja buruh nelayan bukan sebagai klein mereka. Pengusaha
nelayan dimana nelayan itu bekerja tidak pernah dan tidak mau untuk membayar
premi Jasa Raharja. Menurut para pengusaha nelayan, orang yang dipekerjakannya
sebagai nelayan pada alat tangkap miliknya adalah sebagai buruh lepas, dan
bukan buruh tetap yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja (Depnaker )
KESIMPULAN
Setiap pekerja berhak
memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan
penghasilan layak, pemerintah menetapkan perlindungan pengupahan bagi pekerja.
Perwujudan panghasilan layak dilakukan pemerintah melalui penetapan upah
minimum atas dasar kebutuhan hidup layak. Pengaturan pengupahan ditetapkan atas
kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, tidak boleh lebih rendah atau
bertentangan dengan ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, jika kesepakatan tersebut ternyata lebih
rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, peraturan tersebut
batal demi hokum, perlindungan pengupahan bagi pekerja meliputi:
a.
Upah minimum
b.
Upah kerja
lembur
c.
Upah tidak masuk
kerja karena sakit
d.
Upah tidak masuk
kerja karena melakukan pekerjaan lain di luar pekerjaannya
e.
Upah karena
menjalankan hak waktu istirahat kerja
Apabila perusahaan
bangkrut atau likuidasi secara hokum, upah pekerja adalah uang yang didahulukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengusaha harus
menyusun sjala upah dengan memperhatikan golongan jabatan, senioritas, produktivitas,
dan kinerja. Disamping itu pengusaha harus melakukan peninjauan upah secara
berkala.
Penetapan upah minimum
diberlakukan pada tiap daerah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi
pekerja dan keluarganya. Penetapan upah minimum untuk daerah tertentu dapat
ditentukan menurut sektor dan subsector. Dengan penetapan upah minimum berarti
pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang
ditetapkan.
Sementara apabila
diberlakukan upah diatas upah minimum, harus diadakan kesepakatan terlebih
dahulu antara pengusaha dan pekerja. Dalam penetapan upah pengusaha tidak
diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar apapun untuk pekerja yang sama
nilainya.
Meskipun upah sesuatu
yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja, tetapi apabila pekerja tidak
melakukan pekrjaan maka upah tidak dibayarkan. Namun upah dibayarkan oleh
pengusaha kepada pekerja ketika:
a.
Pekerja sakit
sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan
b.
Pekerja tidak
masuk kerja karena berhalangan
c. Pekerja tidak
dapat melakukan pekerjaaan karena sedang menjalankan kewajiban terhadap Negara
d. Pekerja tidak
dapat melakukan pekerjaan karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
e. Pekerja bersedia
melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena melakukan kesalahan sendiri maupun halangan yang
dilakukan pengusaha
f.
Pekerja
melaksanakn hak istirahat dan cuti
g.
Pekerja
melaksanakan tugas organisasi pekerja atas persetujuan pengusaha
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Upah_minimum_regional
(diunggah tanggal 23 desember 2012)
Sastrohadiwiryo, siswanto B,. 2002. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta:
Bumi aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar