Kamis, 10 Januari 2013

PAPER UMR TERHADAP PARA BURUH


BAB I
PENDAHULUAN
1.1              LATAR BELAKANG
                Hak paling sejati bagi seorang buruh adalah upah, Di zaman yang sangat cepat berkembang ini membuat kebutuhan ekonomi tiap penduduk meningkat, ditambahnya tanggungan menghidupi keluarga para pekerja itu sendiri mengakibatkan banyaknya pekerja yang tidak mampu untuk menhidupi keluarganya sendiri. Minimnya Upah serta tunjangan yang diterima oleh para buruh merupakan salah satu faktor banyaknya buruh yang tidak cukup dalam menghidupi dirinya dan keluarganya tersebut.
                Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) cukup banyak, sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masyarakat di Indonesia yang merupakan potensi Supply tenaga kerja bagi pasar domestic maupun luar negeri.
                Melimpahnya penawaran tenaga kerja di Indonesia ternyata kurang diimbangi dengan pemberian upah yang memuaskan bagi tenaga kerja Hal ini senada dengan pernyataan dari KWIK GIAN KIE (1999:559) bahwa:
                Untuk Jangka waktu yang sangat lama, buruh di Indonesia sangat tenang. Mereka tidak menuntut apa-apa, Upahnya sangat rendah, sehingga menjadi faktor promosi sehingga Investor Asing masuk ke Indonesia memanfaatkan buruh yang sangat murah. Buruh yang murah itu juga yang menjadi ujung tombak  persaingan Indonesia dalam penetrasi produk manufakturnya di pasaran Internasional. Buruh di Indonesia dilarang mogok.
                Namun seiring dengan perjalanan waktu, buruh merasakan ketidakadilan yang mereka rasakan sekitar tahun 1996, Menteri Tenaga Kerja Indonesia sempat menaikkan Upah Minimum Regional  (UMR) sampai pada titik 100%  sebagai dampak dari tuntutan perbaikkan nasib para tenaga kerja melalui unjuk rasa dan mogok kerja. Sampai saat ini hal itu masih berlanjut, setiap ada perubahan upah minimum oleh pemerintah selalu dibarengi dengan protes dari para tenaga kerja.
Selain Upah para pekerja seharusnya juga mendapatkan tunjangan, dalam hal tunjangan pengusaha wajib memberikan kepada pekerjanya, contohnya seperti THR (Tunjangan hari Raya) seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 1994 tentang THR. Tetapi dalam kenyataannya  buruh tidak secara otomatis mendapatkan apa yang semestinya menjadi haknya, karena pada kenyataan banyak para majikan (pengusaha) yang tidak memberikan hak atas THR kepada buruhnya sesuai dengan ketentuan. Banyak cara ditempuh oleh pihak pengusaha untuk mengindar dari kewajibannya untuk membayar THR, dan banyak cara dia melipat-gandakan kerja menjelang hari raya untuk menjaga stok barang. Termasuk membeli hari libur dan lembur dengan upah yang rendah.
Apabila kita menyimak mengenai kondisi ketenagakerjaan di Indonesia maka kita akan melihat kondisi yang kompleks dan rumit yang ada di dalamnya dan hal ini terus menerus bermunculan dan seolah-olah tak pernah ada penyelesaian, terutama untuk golongan buruh. Apabila kita mencoba untuk menilik bagaimana dengan sejarah perburuhan di Indonesia, bisa dikatakan kedudukan para buruh selalu tragis dan menyedihkan. Hal ini bukan karena mereka harus mati-matian dalam bekerja untuk mendapatkan upah yang setara, tetapi nasib mereka juga dipertaruhkan. Semenjak kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, nasib kaum buruh selalu memprihatinkan, mereka selalu menjadi orang-orang yang termarginalkan yang seolah-olah mereka menjadi orang yang tak pernah jelas masa depannya. Meskipun dewasa ini banyak perserikatan buruh atau kelompok-kelompok sosial yang membahas buruh, belum dapat menyelesaikan masalah buruh. Meskipun kaum buruh itu sendiri sering turun ke jalan untuk melakukan aksi demo terhadap pemerintah atau terhadap majikannya tetapi hal ini tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dan pengusaha, terutama ketika rezim reformasi.

BAB II
KAJIAN TEORITIS
            2.1        Pengertian Upah Buruh dan Tunjangan serta Jenis-Jenisnya
a.       Pengertian Upah Buruh
Upah adalah kewajiban yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada buruh yang telah bekerja memenuhi tuntutan produksi pengusaha. Pemenuhan hak ini harus memperhatikan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tanggung jawab terhadap pemenuhan hak ini bukan hanya berada pada pihak pengusaha saja, tetapi pemerintah mempunyai kewajiban yang besar untuk melindungi kaum buruh dari kesewenangan pengusaha dalam memberikan upah kepada buruh.
 Untuk itu, pemerintah membuat suatu ukuran pengupahan yang layak yang diatur dalam peraturan perundang undangan Negara agar dipatuhi oleh pengusaha. Aturan mengenai pengupahan diatur didalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) No.17 Tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Kedua aturan inilah yang menjadi acuan pemerintah dan pengusaha dalam menetapkan upah bagi buruh.
Yang dimaksud dengan upah dalam UU No.13/2003 adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukannya. Namun, pengertian upah tidak hanya dipahami sebagai imbalan saja sebagaimana diatas, tetapi upah harus dipahami sebagai satu hak yang didapat dan harus sesuai dengan apa yang dihasilkan dari kerja buruh, sehingga ada nilai keadilannya.
Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Propinsi. Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 menyatakan bahwa penentuan upah minimum diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan yang layak. Upah minimum ditentukan oleh Gubernur setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Pemberian Upah merupakan suatu imbalan/balas jasa dari perusahaan kepada tenaga kerjanya atas prestasi dan jasa yang disumbangkan dalam kegiatan produksi. Upah kerja yang diberikan biasanya tergantung pada:
v  Biaya keperluan hidup minimum pekerja dan keluarganya
v  Peraturan perundang – undangan yang mengikat tentang Upah Minimum Regional (UMR).
v  Kemampuan dan Produktivitas perusahaan
v  Jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
v  Perbedaan jenis pekerjaan
Pengusaha mempunyai kewajiban untuk membayar Upah kepada pekerjanya (Buruh) upah buruh tidak dibayar apabila dia tidak bekerja akan tetapi ada beberapa hal pengusaha tetap harus membayar upah karyawannya, diantaranya yaitu:
v  Pekerja sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan
v  Pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnyasehingga tidak dapat melakukan pekerjaan
v  Pekerja tidak masuk bekerja karena menikah, menikahkan,mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia
v  Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap Negara
v  Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
v  Pekerja bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha
v  Pekerja melaksanakan hak istirahat/cuti
v  Pekerja melaksanakan tugas serikat pekerja atas persetujuan pengusaha
v  Pekerja melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan
b.         Pengertian Tunjangan
Tunjangan adalah tambahan benefit yang ditawarkan perusahan pada pekerjanya. Ada 2 macam tunjangan, tunjangan tetap dan tidak tetap. Yang dimaksud tunjangan tetap adalah tunjangan yang diberikan secara rutin per bulan yang besarannya relatif tetap, contoh: tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan keahlian/profesi. Sedangkan, tunjangan tidak tetap adalah tunjangan yang penghitungannya berdasarkan kehadiran atau performa kerja, seperti tunjangan transportasi, tunjangan makan, insentif, biaya operasional.
Ada Tunjangan yang diatur ada juga yang tidak. Undang – Undang tidak mengatur mengenai tunjangan tidak tetap (tunjangan makan, transportasi, dll). Kebijakan mengenai tunjangan jenis ini, tergantung perusahaan masing-masing. Untuk Tunjangan Kesejahteraan/Kesehatan, dalam UU no 13 pasal 99 mengatur adanya Jaminan Sosial untuk para pekerja.
Adapula Tunjangan Hari Raya (THR), pemberian THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Menurut peraturan tersebut, pengusaha diwajibkan untuk memberi THR Keagamaan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan atau lebih secara terus-menerus. Pekerja yang bermasa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, mendapat THR minimal satu bulan gaji. Sedangkan Pekerja/buruh yang bermasa kerja tiga bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan, mendapat secara proporsional, yaitu dengan menghitung masa kerja yang sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah.

BAB III         
ANALISIS PENELITIAN
            3.1       KASUS BURUH DI INDONESIA
Peristiwa perburuhan yang akhir-akhir ini terjadi dikatakan sebagai fenomena gunung es, yakni dimana permasalahan buruh yang terlihat hanya bagian permukaannya saja, namum sebenarnya masalahnya sangat rumit. Permasalahan buruh ini bukan hanya pada masalah teknis melainkan pada tataran ekonomi, yaitu mengarah pada gejala Neo-Liberalisme dan Globalisasi Ekonomi.
Dari sisi politik, buruh termaginalkan baik dihadapan penguasa maupun dihadapan pengusaha. Dari sisi ekonomi, kondisi kehidupan buruh sangat buruk, diantaranya : upah rendah, jam kerja panjang, jaminan sosial dan kesehatan yang buruk, pemecatan, diskriminasi, pelecehan seksual(terhadap buruh perempuan khususnya). Dari sisi budaya, potensi buruh untuk berfikir kritis masih dihambat oleh serangkaian nilai-nilai yang dipaksakan oleh penguasa maupun pengusaha. Buruh perempuan juga masih dihambat  oleh nilai-nilai yang menempatkan perempuan pada posisi sekunder. Sedangkan dari sisi hukum, buruh masih ditempatkan sebagai faktor produksi dan selalu ditempatkan pada posisi kalah dan “tersangka”, jadi seolah-olah hukum berpihak pada pengusaha.
Derasnya arus reformasi, ternyata sama sekali tidak menyediakan ruang politik bagi kaum buruh untuk ikut serta dalam menentukan agenda perubahan politik ekonomi-politik. Gerakan buruh untuk menuntut hak-hak normatifnya yang marak memasuki era reformasi dinilai mengganggu jalannya agenda reformasi karena akan memacetkan aliran modal ke Indonesia. Permasalahan lain yaitu dimana terjadi krisis moneter pada tahun 1997 mengakibatkan maslah baru bagi golongan buruh, yaitu : PHK massal, naiknya harga kebutuhan pokok, bahan bakar, biaya kesehatan dan sekolah membungbung hingga 200%.  Dari hal-hal tersebut kaum buruh mengajukan permintaan kenaikan UMR 15%, namun sayangnya hal ini ditolak oleh para pengusaha.
Berbagai peristiwa unjuk rasa dan pemogokan buruh yang banyak terjadi di Indonesia, terutama dalam menuntut kenaikan upah minimum yang tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dan pengusaha sehingga banyak menimbulkan ketidakpastian di kalangan buruh. Buruh ini menuntut hak hidup sebagai pekerja yang layak mendapatkan upah sevara cukup dan baik. Selain penuntutan masalah kenaikan upah minimum yang layak, para buruh ini ingin mendapatkan perlakuan yang manusiawi dari majikannya. Tidak sedikit buruh yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari majikannya, seperti: intimidasi, pelecehan dll.
Kehidupan buruh yang tidak kunjung membaik dari waktu ke waktu  dan pemenuhan hak-hak dasarnya inilah yang menjadi indikator utama dimana mereka melakukan suatu tindakan yang mungkin bisa dinilai anarkis. Saya rasa hal ini cukup wajar, karena seorang buruh-pun ialah manusia biasa yang menginginkan kehidupan yang sejahtera, sentausa dan layak. Berganti orde dan penguasa di Indonesia tidak serta merta kemudian merubah kesejahteraan buruh namun yang ada malah sebaliknya, dari mulai adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sampai penindasan dan ekploitasi.
Masalah perburuhan ini bisa dikaji melalui teori dengan menggunakan Teori Konflik hasil pemikiran Karl Marx.Dalam tatanan sosial masyarakat, golongan buruh bila dilihat dari teori ini terdapat dua macam kelas dalam masyarakat yaitu : kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua golongan kaum ini berada dalam suatu tataran sosial hirarkis dimana kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum protelar dalam proses pengembangan atau melakukan hal-hal industri. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar,yang berujung  pada sebuah revolusi atau aksi besar-besaran dan mogok kerja.
Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan, hal ini dilihat dari aksi buruh dalam menuntut hak-hak dasarnya. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat dan disini yang berperan dalam hal tersebut adalah golongan penguasa (birokrat) maupun pengusaha.
Dengan adanya konflik inilah seperti aksi mogok buruh dan aksi turun ke jalan, ini bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial. Dalam teori konflik disebutkan perubahan sosial ditujukan karena adanya konflik kepentingan, ya konflik kepentingannya dimana (kembali lagi) para buruh menuntut pemenuhan hak-hak dasarnya untuk hidup layak.
3.2       CONTOH KASUS NASIB BURUH NELAYAN DALAM MENGGAPAI UMR
Pekerjaan sebagai nelayan di Sumatera Utara sampai saat ini statusnya tidak jelas. Umumnya bagi nelayan yang tidak memiliki alat tangkap sendiri. Nasib nelayan yang bekerja pada alat tangkap yang pemiliknya adalah pengusaha nelayan nasib mereka bagaikan gelombang air dilautan, terombang ambing kesana kemari dalam ketidak pastian.
Status mereka sebagai nelayan ada yang mengatakan sebagai buruh nelayan, ada juga yang mengatakan sebagai buruh lepas. Jika dikatakan sebagai buruh tentu para nelayan ini juga layak untuk menerima Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan oleh Pemerintah. Mereka juga layak untuk mendapat santunan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) maupun Ansuransi Kesehatan (Askes) dan segala pasilitas yang diberikan oleh perusahaan sesuai dengan peraturan pemerintah.
Namun sampai saat ini pemerintah tidak pernah mengambil sikap untuk memperjelas status para buruh nelayan ini, apakah sebagai buruh nelayan atau sebagai buruh lepas, atau sebagai nelayan murni. Yang naibnya, Berbagai Organisasi Nelayan tumbuh bagaikan jamur dimusim hujan yang mengklaim organisasi nelayan ini adalah organisasi yang memperjuangkan nasib nelayan untuk menciptakan kehidupan para nelayan yang sejahtera. Tapi nyatanya apa yang dikatakan oleh para pengurus organisasi nelayan itu hanya sebuah live-servis yang isinya bual belaka.
Ribuan jumlah nelayan dipesisir pantai Sumatera Utara khususnya yang bekerja pada alat tangkap yang dimiliki oleh pengusaha nelayan hanya dijadikan sebagai sapi perahan belaka. Seperti nelayan pukat apung yang bekerja selama dua puluh empat jam/hari hanya memperoleh gaji sebesar Rp 40.000.-/dua puluh empat jam. Gaji yang Rp 40.000.- ini minus dengan fasilitas santunan yang dijanjikan oleh pemerintah.
Jangankan untuk mendapatkan santunan sesuai dengan peraturan pemerintah, malah jika terjadi kecelakaan dilaut yang membuat sinelayan cedera maupun meninggal bagi buruh nelayan ini tidak mendapat santunan jasa rahaja. Karena apa?, karena menurut pihak Jasa Raharja buruh nelayan bukan sebagai klein mereka. Pengusaha nelayan dimana nelayan itu bekerja tidak pernah dan tidak mau untuk membayar premi Jasa Raharja. Menurut para pengusaha nelayan, orang yang dipekerjakannya sebagai nelayan pada alat tangkap miliknya adalah sebagai buruh lepas, dan bukan buruh tetap yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja (Depnaker )

 BAB 1V
KESIMPULAN
Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan penghasilan layak, pemerintah menetapkan perlindungan pengupahan bagi pekerja. Perwujudan panghasilan layak dilakukan pemerintah melalui penetapan upah minimum atas dasar kebutuhan hidup layak. Pengaturan pengupahan ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, tidak boleh lebih rendah atau bertentangan dengan ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika kesepakatan tersebut ternyata lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, peraturan tersebut batal demi hokum, perlindungan pengupahan bagi pekerja meliputi:
a.       Upah minimum
b.      Upah kerja lembur
c.       Upah tidak masuk kerja karena sakit
d.      Upah tidak masuk kerja karena melakukan pekerjaan lain di luar pekerjaannya
e.       Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerja
Apabila perusahaan bangkrut atau likuidasi secara hokum, upah pekerja adalah uang yang didahulukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengusaha harus menyusun sjala upah dengan memperhatikan golongan jabatan, senioritas, produktivitas, dan kinerja. Disamping itu pengusaha harus melakukan peninjauan upah secara berkala.
Penetapan upah minimum diberlakukan pada tiap daerah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi pekerja dan keluarganya. Penetapan upah minimum untuk daerah tertentu dapat ditentukan menurut sektor dan subsector. Dengan penetapan upah minimum berarti pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan.
Sementara apabila diberlakukan upah diatas upah minimum, harus diadakan kesepakatan terlebih dahulu antara pengusaha dan pekerja. Dalam penetapan upah pengusaha tidak diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar apapun untuk pekerja yang sama nilainya.
Meskipun upah sesuatu yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja, tetapi apabila pekerja tidak melakukan pekrjaan maka upah tidak dibayarkan. Namun upah dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja ketika:
a.       Pekerja sakit sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan
b.      Pekerja tidak masuk kerja karena berhalangan
c.   Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaaan karena sedang menjalankan kewajiban terhadap Negara
d.  Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
e. Pekerja bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena melakukan kesalahan sendiri maupun halangan yang dilakukan pengusaha
f.       Pekerja melaksanakn hak istirahat dan cuti
g.      Pekerja melaksanakan tugas organisasi pekerja atas persetujuan pengusaha

DAFTAR PUSTAKA
http://teorikonflik/wiki-wikipedia.com (diunggah tanggal 23 desember 2012)         
http://id.wikipedia.org/wiki/Upah_minimum_regional (diunggah tanggal 23 desember 2012)
Sastrohadiwiryo, siswanto B,. 2002. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Bumi aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar