BAB I
1.1 LATAR BELAKANG
Beberapa tahun ke belakang, kemiskinan di Indonesia dan penanggulangannya telah menjadi prioritas pembangunan dan menjadi agenda pokok yang mengerahkan berbagai sumber daya pembangunan. Selama itu pula, dinamika kemiskinan dan penanggulangannya di Indonesia juga turut berkembang. Sampai dengan Maret 2012, tingkat kemiskinan telah turun menjadi 11.96 persen (29.13 juta jiwa). Sebelumnya, sampai dengan Maret 2011, tingkat kemiskinan nasional menurun hingga 12,49 persen, dari 13,33 persen pada tahun 2010. Selanjutnya, pada periode September 2011, tingkat kemiskinan menurun lagi menjadi 12,36 persen. Beberapa tahun ke belakang, kemiskinan di Indonesia dan penanggulangannya telah menjadi prioritas pembangunan dan menjadi agenda pokok yang mengerahkan berbagai sumber daya pembangunan. Selama itu pula, dinamika kemiskinan dan penanggulangannya di Indonesia juga turut berkembang.
Sampai dengan Maret 2012, tingkat kemiskinan telah turun menjadi 11.96 persen (29.13 juta jiwa). Sebelumnya, sampai dengan Maret 2011, tingkat kemiskinan nasional menurun hingga 12,49 persen, dari 13,33 persen pada tahun 2010. Selanjutnya, pada periode September 2011, tingkat kemiskinan menurun lagi menjadi 12,36 persen.
Penduduk miskin di Indonesia tersebar tidak merata. Jumlah terbesar dari penduduk miskin sebesar 57,8 persen berada di pulau Jawa. Lalu sebanyak 21 persen di Sumatera, 7,5 persen di Sulawesi, 6,2 persen di Nusa Tenggara, 4,2 persen di Maluku dan Papua dan angka terkecil sebesar 3,4 persen tersebar di Kalimantan. Angka kemiskinan tidak dapat turun dengan signifikan karena inflasi yang dirasakan oleh masyarakat miskin juga tinggi. Kondisi global yang berimbas pada situasi nasional, mendorong kenaikan harga-harga, kenaikan bahan-bahan pokok yang tertinggi di antara kelompok pengeluaran untuk bahan-bahan lainnya. Pengeluaran rumah tangga miskin untuk bahan pokok ini rentan terhadap kenaikan harga pangan. Bahkan pada tahun 2005, meski terjadi pertumbuhan, tetapi dengan poverty basket inflation tercatat sampai dengan 12,78 persen karena adanya kenaikan harga BBM, yang memicu kenaikan harga bahan pokok sehingga berdampak pada kenaikan angka kemiskian. Oleh karenanya, stabilitas harga pangan harus dijaga.Tercatat pada tahun 2006, angka kemiskinan naik dari 15,97 persen menjadi 17,75 persen.
Selanjutnya, berdasarkan series status kemiskinan selama 4 tahun, terlihat bahwa jumlah penduduk sangat miskin semakin berkurang setiap tahunnya. Hal ini terlihat pada tahun 2010 jumlah penduduk sangat miskin sebesar 4,56 persen turun menjadi 4,37 persen pada tahun 2011. Sebaliknya, penduduk hampir miskin bertambah sebagai akibat adanya penduduk miskin yang keluar dari garis kemiskinan, tetapi masih rentan untuk jatuh lagi ke dalam garis kemiskinan. Tercatat pada tahun 2011, jumlah penduduk hampir miskin sebesar 11,28 persen dari jumlah 9,88 persen pada tahun 2010.
KAJIAN TEORITIS
2.1 MASALAH KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua Negara di dunia. Negara miskin menghadapi masalah “klasik”. Pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Isu mendasarnya adalah tidak hanya meningkatkan bagaimana pertumbuhan GNP namun juga siapa yang membuatnya “kue nasional” itu tumbuh, segelintir orang ataukah banyak orang.
Kemiskinan setidaknya dapat dilihat dari 2 sisi, yaitu:
Pertama: kemiskinan absolut, dimana dengan pendekatan diidentifikasi penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan tertentu.
Kedua: kemiskinan relative, yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan. Dengan kata lain kemiskinan relative amat erat kaitannya dengan masalah distribusi pendapatan.
2.2 BEBAN KEMISKINA GLOBAL
Dalam hampir setiap negara, kemiskinan selalu terpusat pada tempat-tempat tertentu, yaitu biasanaya dipedasaan atau didaerah-daerah yang kekurangan sumber daya. Persoalan kemiskinan juga selalu berkaitan dengan masalah-masalah lain seperti lingkungan. Beban kemiskinan paling besar terletak pada kelompok-kelompok tertentu. Kaum wanita pada umumnya pihak yang dirugikan.
Dalam banyak kasus, pendapatan yang rendah selalu berkaitan dengan bentuk-bentuk kekurangan yang lain. Misalnya saja dimeksiko, tingkat harapan hidup 10% penduduk termiskin lebih dari 20 tahun dibandingkan dengan 10% penduduk terkaya. Kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan. Di sini kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Garis kemiskinan didasarkan pada konsumsi terdiri dari 2 elemen, yaitu :
Pertama: pengeluaran yang diperlukan untuk memenuhi standar gizi minimum dan kebutuhan dasar lainnya.
Kedua: jumlah kebutuhan lain sangat bervariasi, yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan masyarakat kehari-hari.
a. Seberapa besar tingkat kemiskinan terjadi?
Cara yang paling sederhana untuk mengukur jumlah kemiskinan adalah dengan menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi dari populasi. Oleh karena itu kesenjangan kemiskinan pendapatan digunakan untuk mengatasi kelemahan. Hampir separuh penduduk didunia merupakan golongan miskin, dan hampir separuh penduduk yang sangat miskin tinggal di Asia Selatan.
Peningkatan jumlah kemiskinan hampir sama dengan peningkatan jumlah penduduk , yang sekita 1,5% per tahun. Jika masyarakat miskin memperoleh sebagaian besar dari pendapatan tidak terduga dari masyarakat kaya maka tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan akan berkurang.
A. Indikator dan Solusi Kemiskinan
a. Indikator kemiskinan di Indonesia
Garis kemiskinan BPS
Batas garis kemiskinan yang digunakan tiap-tiap Negara ternayat berbeda-beda. Ini disebabkan karena danya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Dengan kata lain, BPS menggunakan dua macam pendekatan. Pertama: pendekatan yang sering digunakan. Sedangkan Head Count Index merupakan mengukur ukuran yang menggunakan kemiskinan absolute. Dengan demikian garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan pangan dan garis kemiskinan non-pangan.
Garis kemiskinan yang lain
Garis kemiskinan yang lain yang paling dikenal adalah garis kemiskinan. Professor Sajogyo mengidentifikasikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun sama dengan pendapatan beras. Karena garis kemiskinan berdasarkan harga beras adalah lebih dibanding garis kemiskinan BPS maka presentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan akan lebih rendah setiap tahun. Ukuran kemiskinan Sajogyo banyak dikritik setidaknya 2 hal, yaitu mengandalkan pada satu harga (harga beras) dan kendati beras tetap menjadi makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia, porsinya dalam anggaran kelurga, bahkan dalam keluarga miskin, menurun secara cepat.
b. Penyebab kemiskinan
Kemiskinan massal yang terjadi di banyak Negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia II memfokuskan pada keterbelakangan dari perekonomian Negara tersebut sebagai akar permasalahannya. Sharp, et.al (1996: 173-191) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dari sisi ekonomi. Pertama, secara makro, kemiskinan muncul karena ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Kedua kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan.
c. Alternatif Solusi Kemiskinan
Pengalaman di Negara-negara Asia menunjukkan adanya berbagai model mobilisasi perekonomian pedesaan untuk memerangi kemiskinan, yaitu: mendasarkan pada mobilisasi tenaga kerja yang masih belum didayagunakan dalam rumah tangga petani agar terjadi pembentukan modal dipedesaan.
Alternatif cara yang digunakan untuk memobilisasi tenaga kerja dan tabungan pedesaan adalah:
Pertama: menggunakan pajak langsung atas tanah, seperti yang dilakukan di jepang.
Kedua: dapat dilakukan dengan menyusun kerangka kelembagaan pedesaan yang memungkinkan tenaga kerja yang belum didayagunakan untuk pemupukan modal tanpa perlu menambah upah
Model yang kedua menitikberatkan pada transfer sumber daya dari pertanian keindustrian melalui mekanisme pasar. Model ketiga, menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sector pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan sector pertanian menjadi sector yang memimpin.
Proses ini akan berhasil apabila 2 syarat berikut terpenuhi, yaitu: (1) kemampuan mencapai tingkat pertumbuhan output pertanian tinggi, (2) proses ini juga menciptakan pola yang kondusif terhadap pertumbuhan. Perlu juga dicatat bahwa pertumbuhan pertanian yang pesat dapat menciptakan pola pembangunan yang dipimpin pertanian hanya apabila terjadi distribusi kekayaan yang lebih merata dalam perekonomian agraris.
2.3 STUDI PERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN KETIMPANGAN DI INDONESIA
a. Studi SMERU
Hasil studinya menemukan bahwa:
1. Terdapat hubungan negatif yang sangat kuat antara pertumbuhan dan kemiskinan
2. Pertumbuhan tidak mengurangi kemiskinan secara permanen
3. Pertumbuhan secara kotemporer dapat mengurangi kemiskinan
4. Walaupun terjadi pertumbuhan dalam jangka panjang, namun tidak mengurangi kemsikinan secara permanen
5. Pengurangan ketimpangan mengurangi kemiskinan secara signifikan
6. Member hak atas properti dan memberikan akses kepada capital untuk golongan masyarakat miskin dapat mengurangi kesenjangan, merangsang pertumbuhan, dan mengurangi kemiskinan
b. Studi Strauss dan kawan-kawan
Ini menggunakan Indonesian Family Life Surveys (IFLS) untuk meneliti dimensi yang lain dari kesejahteraan masyarakat Indonesia selama krisis. Kesimpulan menarik teori ini adalah pada akhir tahun 2000, hampir setelah tiga tahun krisis ekonomi, kesejahteraan individual dalam data IFLS namapak tidak lebih memburuk jika dibandingkan dengan sebelum krisis pada akhir tahun 1997 dilihat dari berbagai dimensi standar hidup masyarakat.
B. Tren Kemiskinan
a. Perkembangan dan Persentase Penduduk Miskin
Terdapat 2 alasan utama mengapa penurunan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan yang berkesinambungan cukup cepat. Pertama, ketidakseimbangan dalam kawasan pedesaan menurun anatara tahun 1981 dan 1987. Kedua, garis kemiskinan pedesaan yang ditetapkan oleh BPS kenyataan bertambah lebih lambat antara tahun 1981-1987 dibanding indeks harga pedesaan yang digunakan. Hal penting lainnya mengenai garis kemiskinan BPS adalah berhubungan dengan trend dalam insidensi kemiskinan pedesaan dan perkotaan.
b. Jumlah dan Persentase Data Miskin
BPS (1994) menggunakan tiga metode dalam menentukan desa miskin, yaitu: metode standar deviasi (SD), metode Range (R), dan metode persepsi lapangan (PL). metode SD dan R ditentukan berdasarkan hasil kuesioner yang menanyakan 27 variabel di pedesaan dan 23 di perkotaan. Model PL menggunakan kuesioner khusus guna menghimpun pendapat Camat tentang status desa-desa di wilayahnya.
c. Distribusi Regional Kemiskinan
Berdasarkan perkiraan Bank Dunia dengan mempergunakan data dari Susenas tahun 1976, bahwa lebih dari 70% orang yang miskin berada di jawa. Akan tetapi di tahun 1976 distribusi regional kemiskinan mengalami perubahan secara drastic hanya 46% di pedasaan luar jawa, ada penurunan secara drastis proporsi penduduk miskin yang beralokasi di daerah perkotaan maupun pedesaan di Jawa, yang diikuti dengan kenaikan kemiskinan di pedesaan luar jawa. Secara absolute jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan di luar jawa mengalami penurunan namun namun secara relative mengalami peningkatan.
Pada dasawarsa 1990-an, terlihat adanya fluktasi jumlah absolute dan persentase penduduk miskin secara regional. Pada tahun 1993, jumlah penduduk miskin sebanyak 25,9 juta dan persentase penduduk miskin 13,67%. Pada tahun 1996 turun menjadi 22,5 juta dan persentase penduduk miskin 11,34%. Pada tahun 2001 naik menjadi 37,1 juta dan persentase penduduk miskin menjadi 18,34%.
BAB III
ANALISIS PENELITIAN
3.1 KEMISKINAN DAN PEMBANGUNAN
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.
Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Pembangunan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development.
Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
3.2 PEMBANGUNAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Wacana mengenai permasalahan kualitas sumber daya manusia di Indonesia telah lama diperbincangkan. Namun sungguh disayangkan bahwa dahulu -dan bahkan sampai pada saat ini, kebijakan pembangunan di Indonesia lebih berkiblat pada sebuah pemikiran yang meyakini bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan pembangunan yang memprioritaskan aspek ekonomi.
Pembangunan yang mengacu pada pendekatan pertumbuhan tersebut diyakini kemanjurannya. Maka apabila pembangunan telah mencapai keberhasilan, maka kemiskinan di Indinesia akan terminimalisir dengan sendirinya. Pemikiran ini mengacu pada pandangan Rostow (dalam Adi, 2003, h.6 ) yang mengasumsikan bahwa bila terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagai konsekwensinya akan terjadi ‘tricle down effect’ (tetesan ‘rejeki’ kebawah).
Secara teori, pemikiran tersebut dapat menjadikan sebuah negara menjadi maju dan makmur. Tetapi pembangunan yang mengabaikan pemberdayaan kualitas sumber daya tersebut harus dilaksanakan oleh para pelaku pembangunan yang tidak mementingkan segelintir orang saja. Sehingga, sesuai teori Rostow, kehasilan pembangunan dapat oleh banyak kalangan.
Di Indonesia, para pelaku pembangunan banyak yang melakukan kecurangan. Praktik kolusi dan nepotisme juga merajalela. Sehingga pembangunan yang selama ini dilakukan menjadi suatu hal yang tidak berarti.
Apalagi Indonesia tidak memiliki sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu menjalankan roda pembangunan dengan baik. Sementara itu, hasil-hasil pembangunan di Indonesia juga tidak sampai pada penduduk yang tinggal di daerah pedesaan. Pada akhirnya para penduduk desa banyak yang tergiur dengan kehidupan di daerah perkotaan. Padahal pekerjaan di perkotaan menuntut para pekerja yang terampil.
Penduduk yang berpindah dari desa ke kota semakin termarjinalkan. Permasalahan sosial di daerah perkotaan juga semakin banyak dengan bermuculannya para pedagang kaki lima, pengemis, gelandangan, dan berbagai kasus kriminalitas lainnya (Adi, 2003, h. 7).
Ditengah hiruk pikuk pembangunan yang dilakukan, daerah pedesaan pun tetap langgeng dengan kondisi kemiskinan dan ketidakberdayaan. Adi (2003: h. 7-8) menggambarkan kegagalan pembangunan dengan pendekatan pertumbuhan sebagai berikut:“Kepincangan sosial antara desa dan kota, juga membantu terbetuknya ‘raja-raja’ baru dalam dunia bisnis.
Terutama mereka yang punya ‘kedekatan’ dengan sumber ‘informasi’ dan ‘dana’ dalam pembangunan. Bahkan kesenjangan dalam pembangunan antara desa dan kota inilah yang menjadi akar semakin besarnya kantung-kantung kemiskinan” Kemiskinan memang tidak akan pernah hilang. Tetapi bukan berarti tidak dapat diminimalisir.
Apalagi dibiarkan begitu saja hingga memunculkan permasalahan sosial yang rumit di masyarakat. Pembangunan pun seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan perubahan kondisi kepada masyarakat luas, tentunya perubahan dari kondisi yang buruk kepada kondisi yang lebih baik.
Secara ideal, pembangunan yang dilakukan seharusya dapat memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk keluar dari kondisi serba kekurangan dan meraih kualitas hidup yang baik. negara pun dapat mencapai kondisi kesejahteraan sosial yang didefinisikan Midgley (dalam Adi, 2005, h. 16) sebagai berikut:“a state or condition of human well-being that exist when social problems are managed, when human needs are met, and when social opportuities are maximized”
KESIMPULAN
Kerusakan lingkungan dan kemiskinan jika terjadi terus menerus maka akan menimbulkan berbagai permasalahan yang lebih berat dalam kehidupan manusia yang dapat menjadi bencana kemanusiaan seperti kelaparan, pencemaran, kesulitan pemenuhan air bersih, penyebaran penyakit dan gangguan kesehatan lain. Ancaman pemanasan global yang akan menaikkan permukaan laut merupakan ancaman hampir separoh jumlah penduduk terutama yang tinggal di pesisir pantai disamping menyebabkan badai dan banjir. Pengentasan kemiskinan menjadi salah satu solusi untuk diintegrasikan dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Kemiskinan akan memaksa manusia mampu melakukan apa saja termasuk ancaman terhadap lingkungan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang paling pokok.
Kebijakan pembangunan berkelanjutan tanpa strategi pengurangan kemiskinan akan menemui kegagalan. Kerusakan, degradasi dan pencemaran lingkungan akibat langsung dari penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan sulit dilepaskan dari masih adanya sejumlah penduduk yang harus hidup kemiskinan. Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, dimana pemerintah dan semua perangkat negara bersama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab untuk dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus pengentasan kemiskinan tsb paling lambat tahun 2015. Pemerintah Indonesia sepakat untuk menempuh langkah-Iangkah pengentasan kemiskinan sesuai dengan departemen terkait sebagai berikut: 1. Pada tahun 2015, mengurangi separuh proporsi penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari dan proporsi penduduk yang menderita kelaparan, dan pada tahun yang sama, mengurangi separuh proporsi jumlah penduduk yang tidak memiliki akses pada air minum yang sehat;
Foto copy dari buku “Bagian II, Masalah dan Isu Sentral dalam Pembangunan” Bab 6
http://kemiskinan dalam pembangunan.com/ (di unggah tanggal 10 desember 2012) www.BAPPENAS.com (di unggah tanggal 3 november 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar