A. ASAS-ASAS UMUM DAN BIROKRASI
PEMERINTAHAN YANG BAIK
Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan
unsur penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila
salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda
bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan,
terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan
yang baik.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan
jembatan antara norma hukum dan norma etika. Asas-asas tersebut ada yang
tertulis dan tidak tertulis. Asas ini sebagai perwujudan pemerintahan yang
baik, baik dari sistem dan pelaksanaan pemerintahan. Pada awalnya dengan adanya
kewenangan bagi administrasi negara untuk bertindak secara bebas dalam
melaksanakan tugas-tugasnya maka ada kemungkinan bahwa administrasi negara
melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan yang berlaku sehingga
merugikan masyarakat luas. Oleh sebab itu perlu adanya asas-asas untuk
membatasi dari wewenang administrasi tersebut sehingga terhindar dari
pelampauan wewenang.Dalam Perundangan-undangan formal kita yang tertulis dalam
sebuah naskah UU. Di dalam UU sudah ada mengatur tentang asas-asas umum
pemerintahan yang baik yaitu dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, UU RI No. 32 tahun 2004
tentang pemerintah daerah, dan UU RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
Di dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN Pasal 1 (6) yaitu Asas
umum pemerintah yang Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang
menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk
mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Dalam Pasal 3 UU RI No. 28 Tahun 1999 Poin 1, 2, 3,
4, 5, 6, dan 7 di jelaskan tentang asas umum penyelenggaraan negara yaitu
sebagai berikut :
1. Asas
Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
Penyelenggara Negara. Maksudnya asai ini menhendaki dihormatinya hak yang telah
diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi
negara.
2. Asas
Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,
keseraslan, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara.
3. Asas
Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Maksudnya asas ini menghendaki
pemerintah harus mengutamakan kepentingan umum terlebih dahulu.
4. Asas
Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskrirninatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas
Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas
Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
7. Asas
Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Menurut
UU RI No. 32 Tahu 2004 tentang pemerintah daerah bagian kedua tentang asas
penyelenggaraan pemerintahan Pasal 20 angka 1 dipaparkan tentang
Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara
yang terdiri atas:
a. Asas
kepastian hukum adalah dalam rangka negara hukum yang mengutamakan landasan
peratruan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara.
b. Asas
tertib penyelenggara negara adalah asas yang landasan keteraturan, keserasian
dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
c. Asas
kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
d. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
e. Asas
proporsionalitas adalah asas mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
penyelenggara negara.
f. Asas
profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Asas
akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
h. Asas
efisiensi, dan
i.
Asas efektivitas.
Berdasarkan peraturan peundangan-undangan di atas
diharapkan tidak adanya pelampauan kewenangan pejabat administrasi negara dalam
mengeluarkan segala keputusan-keputusan yang berkaitan kepentian hukum sehingga
akan tercapainya pemerintahan yang baik. Apabila terjadinya pelampauan kewenangan
oleh pejabat administrasi negara, di dalam UU RI No. 5 Tahun 1986 tenteng PTUN
(Peradilan Tata Usaha Negara), itu dimaksudkan bahwa ketika ada sengketa antara
pejabat administrasi negara dengan masyarakat maka dalam menyelesaikan sengketa
dibuat suatu peradilan hukum yaitu PTUN.
Diluar dari hukum tertulis atau hukum formal ada
asas hukum tidak tertulis yang menunjang dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang baik yaitu:
1. Asas
Persamaan, bahwa hal-hal yang sama harus diperlakukan sama.
2. Asas
Kepercayaan, menuntut supaya badan pemerintahan terikat pada janjinya.
3. Asas
Kepastian hukum, adanya kepastian hukum pejabat administrasi negara dalam
mengeluarkan segalah keputusan.
4. Asas
Kecermatan, bahwa segala ketusan yang diambil harus dipersiapkan dan diambil
dengan cermat.
5. Asas
Pemberian alasan, bahwa segala keputusan harus dapat didukung oleh alas
an-alasan yang dijadikan dasarnya.
6. Larangan
Penyalahgunaan Wewenang, bahwa segala wewenang yang diberikan tidak boleh untuk
tujuan lain.
7. Larangan
Bertindak Sewenang-wenang, bahwa segala keputusan yang diambil tidak boleh
bertentangan.
Dari mana dari asas ini dipergunakan dalam keadaan
tertentu dapat ditarik aturan-aturan yang dapat diterapkan. Dalam perkembangan
praktek khusus melalui putusan peradilan, asas-asas umum pemerintah yang abik
terdapat 13 asas yaitu sebagai berikut:
a. Asas
kepastian hukum
b. Asas
keseimbangan
c. Asas
kesamaan
d. Asas
bertindak cermat
e. Asas
motivasi untuk setiap keputusan
f. Asas
jangan mencampur-adukan kewenangan
g. Asas
permainan yang layak
h. Asas
keadilan atau kewajaran
i.
Asas menanggapi pengharapan yang wajar
j.
Asas meniadakan akibat-akibat suatu
keputusan yang batal
k. Asas
perlindungan atas pandangan hidup
l.
Asas kebijaksanaan
m. Asas
penyelenggaraan kepentingan umum.
Asas umum pemerintahan yang baik tidak berlaku
secara universal di setiap negara karena adanya perbedaan budaya, kebutuhan
masyarakat yang selalu berubah, dan masalah yang dihadapi di setiap negara
berlain-lainan. Dalam konteks negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia
sepakat bahwa pada pemerintahan Soekarno berhasil meletakkan dasar Nasionalisme
bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan program-program pembangunan
yang menyentuh rakyat banyak. Pada masa orde baru rakyat mengalami kemakmuran
dengan dilaksanakannya pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional, tetapi
dalam kenyataannya bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi belum dirasakan
merata oleh masyarakat dan stabilitas telah memasung demokrasi/partisipasi
rakyat, banyak pelanggaran hak asasi manusia dan menutup akses keterbukaan.
Lepas dari hal tersebut di atas sesungguhnya masih
dapat ditemukan asas-asas pemerintahan yang baik. Adapun Asas-asas Umum
Pemerintahan yang baik menurut Wahyudi Kumorotomo dalam buku “Etika
Administrasi Negara” adalah:
a. Prinsip
Demokrasi
Pemerintahan dengan prinsip demokrasi pada dasarnya
berasas pada kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa
rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat
yang menentukan jalannya negara dan pemerintahan. Di dalam sistem pemerintahan
yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan
karena kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi. Dasar dari
konsep demokrasi menyangkut penilaian tentang nilai manusia, martabat manusia,
dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan terciptanya suatu sistem
kemasyarakatan yang setiap warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama dan
adil. Oleh karena itu dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi, hendaknya
setiap aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan rakyat
berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan, dan efisien.
b. Keadilan
sosial dan pemerataan
Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan
tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan
antarkelompok masyarakat kaya dengan miskin dan antardaerah/wilayah geografis
antara perkotaan dengan pedesaan. Oleh karena itu aparat birokrasi agar membuat
kebijakan-kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan masyarakat miskin dan
masyarakat pedesaan dengan kebutuhan masyarakat kaya dan masyarakat perkotaan.
c. Mengusahakan
kesejahteraan umum
Suatu kekuasaan negara legitimate, apabila negara
tersebut melalui kegiatan-kegiatannya dapat meningkatkan kesejahteraan umum
bagi rakyatnya. Rakyat akan menerima dengan senang kewajiban-kewajiban dari
negara yang dibebankan kepada rakyat, asalkan dengan kewajiban tersebut rakyat
menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi pemerintah
agar mempunyai komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan kepada
rakyat.
d. Mewujudkan
negara hukum
Mewujudkan negara hukum adalah amanat dari
konstitusi. Maksud dari perwujudan negara hukum adalah aparatur pemerintah
bersama dengan seluruh rakyat akan mewujudkan suatu pemerintahan yang
dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi aparat pemerintah
dalam melaksanakan tugas pemerintahan harus berdasarkan ketentuan
perundang-undangan.
e. Dinamika dan efisiensi
Dinamika hendaknya diartikan sebagai kemampuan
adaptasi organisasi yang baik sehingga ia sanggup mengantisipasi
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat menelorkan
kebijakan-kebijakan yang tepat. Dinamika dalam melaksanakan tugas-tugas negara
merupakan prasyarat untuk dapat menciptakan birokrasi pemerintahan yang
responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang. Di
samping dinamika sebagai ukuran kinerja bagi birokrasi pemerintahan, maka
ukuran lain adalah efisiensi. Efisiensi dalam hal ini diartikan adalah tetap
mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan terhadap publik, tetapi tetap
memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, prosedur layanan, dan biaya yang
dikeluarkan.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian, tugas Pegawai Negeri, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara profesional, jujur, adil, dan merata, menyelenggarakan tugas negara,
menyelenggarakan tugas pemerintahan, dan menyelenggarakan tugas pembangunan.
Menurut Undang-Undang Kepegawaian tersebut di atas Pegawai Negeri terdiri dari
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pegawai Negeri Sipil.
Dalam undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa pegawai negeri harus bebas dari pengaruh golongan dan partai politik. Oleh karena itu pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Mengacu pada pengertian “Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil” – Rianto Nugroho D, Kebijakan Publik ─, maka tugas-tugas tersebut di atas juga merupakan tugas Pegawai Negeri Sipil (aparat birokrasi) karena Pegawai Negeri Sipil bagian dari Pegawai Negeri.
Dalam undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa pegawai negeri harus bebas dari pengaruh golongan dan partai politik. Oleh karena itu pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Mengacu pada pengertian “Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil” – Rianto Nugroho D, Kebijakan Publik ─, maka tugas-tugas tersebut di atas juga merupakan tugas Pegawai Negeri Sipil (aparat birokrasi) karena Pegawai Negeri Sipil bagian dari Pegawai Negeri.
Adapun hakekat pelayanan publik adalah pemberian
pelayanan kepada masyarakat dan pemberian pelayanan publik tersebut akan dilaksanakan
sesuai dengan asas-asas pelayanan publik yang meliputi transparansi,
akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, dan keseimbangan hak
dan kewajiban.
Pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi 3
(tiga) kelompok, yaitu Kelompok Pelayanan Administratif, Kelompok Pelayanan
Barang, dan Kelompok Pelayanan Jasa. Adapun contoh-contoh dalam setiap kelompok
pelayanan adalah:
1.
Kelompok Pelayanan Administratif
Contohnya:
Pelayanan pengurusan akte kelahiran, akte perkawinan, akte kematian, sertifikat
tanah, izin mendirikan bangunan, surat izin mengemudi, kenaikan gaji, kenaikan
pangkat, pensiun pegawai, pensiun janda/duda, dan sebagainya.
2.
Kelompok Pelayanan Barang
Contohnya:
Pelayanan penyediaan kebutuhan sembilan bahan pokok, bahan bakar minyak, bahan
bakar gas, dan sebagainya.
3.
Kelompok Pelayanan Jasa
Contohnya:
Pelayanan pengangkutan penumpang, pengangkutan barang, kesehatan, pendidikan,
perbankan, telepon, listrik, dan sebagainya.
Alasan Pentingnya Etika Dalam Birokrasi.
Ketika
kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul
kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para aparatur
Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan
dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak
bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang
dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan
tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu
diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada
beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan
pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus Dwiyanto, bahwa
:
Pertama,
masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan
semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah
melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin banyak dan komplek
dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalah yang
berkembang, birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang
jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak
dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing
memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain. Dalam kasus
pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi
seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara
memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya.
Masalah – masalah yang ada dalam “grey area “seperti ini akan menjadi semakin
banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat.
Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “
policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah
yang dihadapinya.
Kedua,
keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan
perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan
tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap
tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk
bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar.
Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau
birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya
kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi
kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai
kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui
pengembangan etika birokrasi.
Walaupun
pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun
belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga
peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti
terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah
satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka.
Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para
sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan
perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari
alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika
Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang
ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi
tiu sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang ada dalam
masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar
dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan
diberdayakan.
Untuk
itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih
beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan
demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang
menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.
Peraturan
Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi. Berbicara tentang
Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi itu
sendiri karena ketika kata Etika Birokrasi didengungkan, secara tertulis memang
belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit Etika Birokrasi telah
termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi
(Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan
sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai
kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Jadi Etika
Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para aparat birokrasi itu sendiri
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongkrit di
negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara
Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sesuai
aturan yang telah ditentukan. Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main
dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah
diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang
telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian.
Kode
Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps
Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga. Dengan sendirinya Kode Etik itu
dibaca secara bersama-sama pada kesempatan tertentu yang kadang –kadang diikuti
oleh suatau wejangan dari seorang pimpinan upacara disebut inspektur upacara (
IRUP ), maksudnya adalah untuk menciptakan kondisi-kondisi moril yang
menguntungkan dalam organisasi yang berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap
mental yang diperlukan, juga untuk menciptakan moral yang baik. Kode Etik
tersebut biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau upacara
ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan upacara-upacara nasional. Setiap
organisasi, misalnya PNS atau TNI dan lain-lain ada usaha untuk membentuk Kode
Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan
bermoral.
Namun
sampai sekarang belum diketahui sampai seberapa jauhnya dan juga belum dapat
dipantau secara jelas dari perbuatan seseorang apakah yang bersangkutan
melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena belum jelas batasannya dan
apa sangsinya, sehingga benar-benar dapat dipergunakan sebagai ukuran atau
criteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat Birokrasi sehingga
disebut beretika atau tidak. Tetapi apapun dan bagaimanapun maksud yang hendak
dicapai dengan membentuk, menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya
Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan
lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari
perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain. Agar
tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka
perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan
jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan.
Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul
menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta
aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan
main para aparat Birokrasi.
Adapun
aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau Aparat
Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai berikut
:
1. Aturan
mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil Untuk menjamin terselenggaranya
tugas-tugas umum pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka
usaha mewujutkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual,
dimana diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsure aparatur negara yang
penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
bersih, berwibawa bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya.
Dalam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 dan perubahannya yaitu
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk
mewujutkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara
mengatur kedudukan, kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu
kewajiban dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang
kepegawaian.
2. Aturan
mengenai kedudukan Pegawai Negeri sipil Pegawai Negeri sipil adalah unsure
aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan
ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, mengatur
masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan
penuh tersebut mengandung pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya
dibawah aturan yang telah ditentukan.
3. Penghargaan
Pegawai Negeri sipil Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila
telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang
baik, dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat perlu diberikan penghargaan
kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat
istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan harapan
agar menjadi contoh kepada yang lain dalam melaksanakan tugas.
4. Keanggotaan
Pegawai negeri dalam Partai Politik Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral, supaya terhindar dari
kepentingan partai politik, maka sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan
memundurkan diri demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi.
5. Peraturan
disiplin Pegawai Negeri Sipil Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil
diatur dalam Peratuiran Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan
Pemerintah tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban,
larangan, sangsi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap
hukuman disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi
seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri
yang menjadi kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980, antara lain mengatur tentang :
-
Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD
1945, Negara dan Pemerintah
-
Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji
Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji jabatan berdasarkan peraturan yang
berlaku serta siap menerima sangsinya
-
Menyimpan rahasia negara dan atau rahasi
jabatan dengan sebaik-baiknya
-
Bekerja dengan jujur, tertib, cermat,
bersemangat untuk kepentingan negara
-
Segera melaporkan kepada atasannya,
apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/
pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material
-
Mentaati ketentuan jam kerja
-
Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat
-
Bersikap adil dan bijaksana terhadaop
bawahannya
-
Menjadi atau memberikan contoh teladan
terhadap bawahannya
-
Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
meningkatkan kariernya
-
Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap
dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama pegawai dan
atasannya. Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur
perilaku aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi,
yaitu larangan seperti:
-
Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan
kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri sipil
-
Menyalahgunakan wewenangnya
-
Menyalahgunakan barang-barang, uang atau
surat-surat berharga milik negara
-
Menerima hadiah atau sesuatu pemberian
berupa apa saja dari siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa
pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang
bersangkutanMemasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau
martabat pegawai negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan
-
Bertindak sewenang-wenang terhadap
bawahannya
-
Bertindak selaku perantara bagi sesuatu
pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau peranan dari kantor/
instansi pemerintah
-
Melakukan pungutan tidak sah dalam
bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi,
golongan atau pihak lain.
Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas
kiranya dapat dipahami oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi
sebagai pagar atau norma dan aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode
etik Pegawai Negeri yang notabenen merupakan aparat birokrasi. Selain Kewajiban
dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak kalah
penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau hukuman yang
setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sangsi atau
hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi sesuai
tingkat pelanggaran, adapun jenis sangsi tersebut menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :
1. Hukuman
disiplin ringan antara lain: teguran lisan, teguran tertulis, pernyataan tidak
puas secara tertulis
2. Jenis
hukuman disiplin sedang, antara lain: penundaan kenaikkan gaji berkala untuk
paling lama satu tahun, penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk
paling lama satu tahun, Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun
3. Jenis
hukuman disiplin berat, terdiri dari: penurunan pangkat pada pangkat yang
setingkat lebih rendah paling lama satu tahun, Pembebasan dari jabatan, Pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil, dan Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai
pegawai negeri sipil.
Dari sangsi hukuman yang diberikan dan patut
diterima bagi siapa saja pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur
moralitas para aparat birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi
atau hukuamn yang telah ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada
penegakkan sangsi atas pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan
atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika
ataupun sangsi social saja, karena sangsi social hanya efektif apabila aparat
Birokrasi itu berada di tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam
organisasi Birokrasi harus tegas berupa sangsi hukuman sesuai peraturan
perundang-undangan tersebut di atas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan
kepegawaian juga dapat dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi
yang nantinya dapat mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi
dengan segala sangsi yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat
membuat aparat birokrasi lebih beretika. Jadi selain etika yang berlaku dalam
masyarakat dimana aparat birokrasi merupakan bagian dalam masyarakat, maka
secara otomatis dia harus terikat dengan aturan tersebut, sementara di satu
sisi Aparat Birokrsi mempunyai aturan main sendiri yang secara Nasional di
Seluruh Indonesia dapat diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri
bagi pegawai negeri dan Sapta Marga bagi TNI, serta aturan Kepegawaian yang
berlaku dan juga ketentuan atau sangsi yang tegas dan nyata. Ini diharapkan
dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main dalam dalam
melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika
dan bermoral.
B. ADMINISTRASI DAN NILAI-NILAI
YUDISIAL NORMA PENGAWASAN
Pembuatan
keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Sebaigan besar proses
administrasi berupa serangkaian pemilihan alternative tindakan atau pengambilan
keputuasn. Waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan
tersebut seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada mebutuhkan
penaganan segera. Sementara itu pertimbangan efesiensi terkadang tidak
memungkinkan bagi para pejabat pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat
dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan
yang dibuatnya. Karena itulah para pejabat pemerintah dituntut untuk mampu
menjawab persoalan-persoalan secara pragmatis.
Maka dalam
menjalankan tugas-tugasnya para pejabat pemerintah selalu berada
ditengah-tengah kontradiksi antara pertimbangan pragmatis dan pertimbangan
legalitas. Dia harus ampu menyeimbangkan antrara preferensi pribadi, kemauan
membuat undang-undang, serta peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga
tempat ia mengabdi.
Untuk
membuat kaputusan haruslah dilaksanakan dengan hasil pertimbangan yang baik dan
tidak merugikan kedua belah sisi, baik Pemerintah maupun Masyarakat. Karena
hasil dari keputusan tidak jarang membawa keributan ataupun demo-demo dari
kalangan masyarakat yang tidak terima dengan keputusan dari pemerintah
tersebut. Sebagai contoh kenaikan harga bahan bakar minyak atau ditariknya
subsidi oleh pemerintah yang berdampak pada kenaikan harga barang dipasaran.
Pembuatan
keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Waktu yang tersedia
untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena
permasalahan yang ada membutuhkan penanganan segera. Pertimbangan lain untuk
mengambil keputusan-keputusan prakmatis ialah kenyataan bahwa rumusan-rumusan
legal yang ada acapkali tidak mampu menjawab situasi permasalahan yang tengah
dihadapi. Ketika mengambil suatu kebijakan, para pejabat public kadang kurang
bisa melihat keseluruhan aspek yang terkait dengan suatu permasalahan public.
Maka dalam menjalankan tugas-tugasnya npara pejabat pemerintah selalu berada
ditegah-tengah kontradiksi antara pertimbangan pragmatis dan pertimbangan
legalitas.
Perkembangan
system ketatanegaraan diseluruh dunia selama setengah abad terakhir menunjukan
meluasnya pengakuan atas hak-hak rakyat. Pernyataan-pernyataan tentang hak
asasi itu antara lain meliputi kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, hak
hidup dan hak milik, serta hak atas perlindungan yang sama. Ada dua manfaat
yang dapat ditarik dari keterlibatan lembaga-lembaga peradilan tersebut.
Pertama tentu saja adalah terlindunginya kepentingan-kepentingan rakyat, terutama
pihak warga Negara yang kedudukannya lemah. Kedua adalah manfaat yang diperoleh
dari reformasi yang berkesinambungan atas tata kerja dalam institusi-institusi
public serta cara-cara dalam pengambilan kebijakan oleh aparat-aparatnya.
Kemudian perkembangan signifikan yang ke tiga ialah ekspansi tanggung jawab
legal bagi administrator publiK.
Hak-hak
individu konstitusional yang seharusnya diperhatikan dan diakui oleh aparatur
pemerintah justru dilanggar, dan tanggung jawab administrator public terhadap
kesejahteraan umum menjadi luntur. Maka dalam rangka menciptakan system
administrasi yang tertib dan bersih kerja sama antara lembaga-lembaga kehakiman
dengan lembaga-lembaga administrative sangat penting peranannya. Beberapa model
dapat diajukan untuk melihat kemungkinan penerapannya dimasa mendatang:
1.
Penguasaan ( coping ): Ketegangan antara kekuasaan
kehakiman dan kekuasaan administrative mungkin tan pernah berakhir
2.
Konvergensi: Mengasumsikan bahwa interaksi antara
aparat kehakiman dan administrator public akan menghasilkan harmoni
3.
Kemunduran judicial ( judicial withdrawal ): Sebagian
kritikus, akademisi dan praktisi tetap mengecam campur tangan atau intervensi
yang berlebihan para jaksa dan hakim dalam administrasi Negara
4.
Perluasan hak ( expanding rights ): Asumsi yang
dipakai ialah bahwa kemungkinan jangka panjang untuk memperkuat dan memperluas
hak-hak asai individual akan terus bertambah
5.
Kultur administrative baru ( new administrative cultur
): Kelima model interaksi masing-masing punya keunggulan dan kelemahan, dan
kesemuanya punya peluang untuk diterapkan atau dikembangkan.
Untuk
mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan administrasi Negara secara judicial
pemerintah bersama-sama dewan perwakilan telah mengesahkan undang-undang PTUN.
Untuk menciptakan system administrasi pemerintahan yang tertif, mencegah
kebocoran uang Negara, serta menjamin efektifitas dan efisiensi,
lembaga-lembaga pemerintah harus memiliki pemeriksa yang berpotensi dan
berkualitas tinggi. Dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan, aparat juga harus
memiliki sikap batin tertentu. Diantara kualitas batin tersebut adalah sikap
sanksi (suspicious mind), ingin tahu lebih banyak (inquisitive mind),
logis dan analitis (logical and analytical mind), dan akurat (accurate).
Melalui Keputusan pemerintah No. 67 tahun 1980, misalnya telah diatur tentang
kedudukan Badan Pertimbangan Kepegawaian bagi instansi-instasi pemerintah.
Dalam Bab IV
pasl 24 telah dirumuskan susunan organisasi Badan Pertimbangan Kepegawaian,
yang terdiri dari:
1. MENPAN sebagai
ketua merangkap anggota
2. Kepala BAKN
(Badan Administrasi kepegawaian Negara) sebagai seketaris merangkap anggota
3. Sekertaris
Kabinet sebagai anggota
4. Dirjen Hukum
dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman merangkap anggota
5. Jaksa Agung
Muda bidang Pembinaan pada Kejagung RI sebagai anggota
6. Dirjen PUOD
(pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah) Depdagri sebagai anggota
7. Ketua pengurus
KORPRI pusat sebagai anggota.
Dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan public, para pembuat keputusan tidak
akan terlepas dari kepentingan umum dalam pengertian normative maupun praktis. Untuk
membahan kepentingan umum dalam konteks etika kebijakan public, kiuta harus
membahas etika individual maupun etika societal (societal ethich). Pada
tingkat generalisasi yang lebih rendah, ada beberapa sub criteria yang
menyangkut manfaat dan biaya societal. Dari keseluruhan tolak ukur normative
yang dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi-organisasi public, tampak
bahwa “kebajikan” yang dapat diberikan oleh aparatur pemerintah hanya dapat
terwujud kalau mereka selalu mengacu kepada kepentingan umum secara obyektib. Ungkapan
yang tepat untuk menunjukan bahwa aktivitas pemerintah berpiuhak pada
kepentingan umum ialah netralitas birokrasi.
C. KEARIFAN DALAM KEBIJAKAN
Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia
selama beberapa dasawarsa terakhir menampakan tiga kecenderungan utama.
Pertama, meningkatnya kemakmuran dengan semakin terpenuhinya kebutuhan ekonomi.
Kedua, meluasnya kekuasaan birokrasi pada setiap jenjang administrasi
pemerintah. Dan yang ketiga, meningkatnya kekuasaan politis peran para
eksekutif berarti meningkat pula peranan birokrat dan administratior dalam
penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.
Landasan etis bagi kebijakan yang diambil seorang pejabat
pemerintah, yang pertama yang dibicarakan adalah legitimasi kekuatan memaksa (coersive
power) untuk mengatur sebagian dari hak-hal warga negara. Oleh sebab itu,
sifat arif (wise) dalam ppemerintahan karena kedudukannya akan
menentukan keputusan-keputusan yang membatasi orang lain. Permasalahan yang
dihadapi oleh seringkali begitu rimit, karena mereka tidak hanya diwajibkan
untuk mengatasi segi-segi teknis, tetapi juga segi-segi manajerial yang
menyangkut hubungan antar manusia. Setiap keputusan yang dibuat harus sesuai
dengan tuntutan rasa keadilan, tidak menjatuhkan harga diri orang lain, dan
membawa perkembangan ke arah yang baik bagi organisasi pemerintahan sendiri.
Keputusan seperti itu jelas hanya dapat dibuat oleh pribadi-pribadi yang
memiliki kearifan (Kumorotomo, 2007, hal. 327).
Ketika seseorang pejabat pemerintah mendapatkan jabatan yang
lebih tinggi, makin dituntut syarat kearifan itu karena ia akan semakin banyak
terlibat dalam bidang manajerial ketimbang teknis. Dapat dinalar bahwa semakin
tinggi jabatan seseorang semakin banyak orang lain yang akan dipengaruhi oleh
keputusan-keputusan pejabat tersebut, sehingga semakin beresiko ketidakpuasan
di antara para bawahan ataupun masyarakat. Pejabat yang arif menurut Kumorotomo
adalah pejabat yang mampu menjaga supaya keputusan-keputusannya diterima oleh
sebagian besar dengan landasan kebenaran yang hakiki.
Tanggung jawab seorang pejabat pemerintah dengan demikian
bukan hanya kepada organisasi yang dikelolanya atau kepada atasannya saja,
tetapi juga kepada warga negara yang secara langsung ataupun tidak langsung
terkena kebijakan yang diambilnya.
Kebenaran suara hati menuntut agar manusia tidak dipaksa
untuk bertindak melawan suara hati. Hak ini berlaku tanpa kecuali. Tetapi lain
halnya dengan hak untuk dibiarkan bertindak sesuai dengan suara hatinya. Hak
untuk bertindak sesuai dengan suara hatinya menemukan batasnya pada hak orang
lain untuk bertentangan sama dengan besarnya untuk hidup sesuai dengan suara
hatinya sendiri. Kebebasan suara hati tidak boleh sampai mengurahi hak orang
lain atau bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang wajar. (Magis-Suseno,
1999, hal. 149). Pribadi yang arif akan sangat berperan dalam penentuan
kebenaran suara hati dalam tindakan setiap pejabat publik. Tidak ada tuntutan
seseorang untuk selalu melakukan apa yang diucapkan oleh hati tetapi apabila
beriringan dengan sifat kearifan sangat berdampak positif terhadap pelaksanaan
dan perwujudan kepentingan masyarakat.
Keterbukaan aparatur pemerintah dan perlakuan yang adil atau
fair menjadi penting dalam wacana tugas layanan publik. Manusia yang bermoral,
demikian juga administrasi
publik menjadi etis hanya akan ada jika dan jika administratur itu memang
memiliki kemamuan bersikap arif sehingga beretika, sehinga seperti
yangdikatakan oleh Sayuti dalam (Sayuti, 2011, hal. 110) tanpa adanya takut
akan hukuman atau harap akan ganjaran, tanpa takut celaan atau harap akan
pujian, dan tanpa takut terkena sanksi atau memperoleh promosi.
Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan,
mengingat dewasa ini terdapat kecenderungan meningkatnya peran pejabat publik
atau administrator pemerintahan dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang
menyangkut masyarakat luas. Disinilah arti penting kearifan, yang merupakan
landasan etis bagi para aparatur pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan guna
mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.
Setiap tindakan yang dilaksanakan hendaknya tidak hanya
menggunakan ranah praktis dan politis saja tetapi harus menggunakan kearifan
dalam bertindak sehingga keputusan yang diambil dapat menjadi sebuah amanat
yang dapat dijalankan dengan benar. Konsep kearifan menjadi bahan pertimbangan
dalam melaksanakan penempatan atau mutasi sehingga akan meminimalisir timbulnya
konflik yang berkepanjangan dan ketidaksepahaman, untuk bisa menjalankan proses
pemerintahan yang baik dalam masa transisi dari sentralistik ke desentralisasi
tidak semua kemauan Pejabat Publik langsung diterapkan tetapi perlu ada
perenungan dan pertimbangan kearifan sehingga pemerintahan akan berjalan dengan
baik. Sehingga dapat mewujudkan kebijakan umum yang diukur maka welfare
state dapat terwujud. Proses pergantian pejabat pemerintahan di sejumlah
instansi perlu ada perimbangan rasio antara pola meritsistem dan kearifan
sebagai sumber legitimasi dalam melakukan pergantian jabatan. Jika hanya
menuruti keleluasaan yang dimiliki kepala pemerintahan maka akan menimbulkan
ketidakstabilan dalam roda organisasi.
Metode-metode yang dipakai dalam pembuatan kebijakan bisa
beraneka ragam, dan masing-masing mengandung konsekuensi yang harus diterima.
Seorang pejabat dapat saja menggunakan ancaman untuk mengambil keputusan,
tetapi kepuasan publik yang merasa tidak dihargai pendapatnya merupakan hal
yang harus dipertimbangkan. Sebaliknya kebijakan-kebijakan partisipatif mungkin
akan memberikan kepuasan bagi keinginan publik untuk berpendapat sendiri,
tetapi pengambilan keputusan jelas membutuhkan waktu lebih lama. Kepura-puraan
atau kesungguhan seorang pejabat terhadap pemecahan masalah-masalah rakyat juga
dapat diketahui dari kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Ini disebabkan pada
dasarnya kebijakan publik adalah kebijakan kolektif,
kebijakan yang melibatkan dan berpengaruh pada banyak pihak.
Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan
interpretasinya terhadap gagasan tertentu, individu atau kelompok secara
positif maupun negatif. Pejabat publik juga perlu menyadari bahwa setiap
prosedur selalu mengandung paradoks. Setiap prosedur harus dilakukan dalam
rangka menjamin kepastian layanan, namun kekakuan terhadap prosedur justru
melemahkan daya tanggap organisasi pemerintahan. Ini akan menghilangkan ketergantungan
administrasi pada perilaku administrator yang berubah-ubah, mencegah
favoritisme dan meniadakan bias pada kepentingan pribadi pejabat.
Untuk menerapkan kekuasaan secara benar, mengelola sumber
daya negara dengan tanggung jawab, menentukan alternatif keputusan secara
objektif, dan menerapkan prosedur dengan baik, seorang pejabat harus memiliki kualitas
pribadi yang prima. Bailey menguraikan tiga kualitas yang diperlukan bagi
seorang pembuat kebijakan, yaitu sebagai berikut:
1. Optimisme
Sifat
ini hendaknya tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap enteng
semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk berasumsi tentang kemungkinan
untuk mendapatkan hasil-hasil yang positif. Ia mengandung keyakinan bahwa
peluang untuk memecahkan persoalan yang selalu ada.
2. Keberanian
(Courage)
Sifat
ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat kebijakan
harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politisi,
pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat, atau intimidasi dari para
pakar dan orang-orang yang mengandalkan favoritisme. Suatu komitmen
mempertahankan proses legal, seperti yang digariskan dalam hukum dan kebijakan
yang lebih tinggi, ketika berhadapan dengan orang-orang yang hendak mengeruk
sumber daya negara memanfaatkan kedudukan membutuhkan kelugasan atau impersonalitas.
3. Keadilan
Yang Berwatak Kemurahan Hati
Bailey
menggambarkan sifat ini sebagai kualitas moral yang paling penting bagi pejabat
publik. Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas
orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan baku yang sama serta suatu
kepekaan atas perbedaan individual. Oleh karena itu, kearifan seorang pemimpin
sangat dibutuhkan untuk menjadi perumus kebijakan yang baik. Kepekaan dan
empati terhadap karena bagaimanapun juga pejabat publik harus melayani manusia,
yang tentunya punya martabat, harga diri dan perasaan. Dalam melayani
masyarakat umum, yang perlu selalu diperhatikan ialah ketentuan mengenai
keadilan prosedural. Telah dikemukakan bahwa pelaksanaan keadilan prosedural.
Keadilan proseduran mempersoalkan akses dan perlakuan (access and treatment). Kelompok sasaran hendaknya dilibatkan dalam
proses kebijakan, termasuk dalam pembuatan aturan main dan penghakimannya dan
berlaku bagi semua.
Pada dasarnya kebijakan publik terdiri dari serangkaian
proses pemilikan dan penentuan prioritas. Lahirnya landasan ilmu yang mendukung
rasionalitas pengambilan keputusan, baik itu ilmu psikologi, antropologi,
politik, ekonomi, maupun sosiologi, sesungguhnya juga merupakan hasil dari
proses pemilihan. Tindakan manusia merupakan hasil dari pilihan manusia.
Pilihan-pilihan keputusan dibuat atas nama kehendak individu maupun kolektif
dengan berlandaskan harapan atas masa depan dan perkiraan atas konsekuensi dan
tindakan yang dilakukan sekarang.
Sudah barang tentu kaidah etis mengandaikan bahwa para
pembuat kebijakan publik akan meletakkan preferensi pada kemakmuran dan
kebaikan masyarakat luas, dan meletakkan harapannya pada kemajuan masyarakat,
bangsa, dan negara. Namun untuk membuat keputusan-keputusan yang tepat seorang
pejabat harus pula memiliki kapasitas intelektual yang memadai. Teori peilihan
melihat pembuatan keputusan sebagai suatu tindakan yang disengaja (tidak
berlangsung dengan sendirinya) yang berdasarkan empat hal berikut ini:
1. Pengetahuan
tentang alternatif-alternatif tindakan
Pembuatan
keputusan harus memahami sejumlah alternatif untuk bertindak.
Alternatif-alternatif tersebut dirumuskan beradasarkan situasi dan dipahami
sebagai sesuatu yang tidak mendua atau tidak menagndung ketaksaan (unam-biguosly)
2. Pengetahuan
tentang konsekuensi
Pembuatan
keputusan memahami konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan alternatif,
atau setidak-tidaknya memiliki pegangan atas probabilitas keberhasilan atau
kegagalan tindakan tersebut.
3. Pengaturan
preferensi yang konsisten
Pembuatan
keputusan memiliki fungsi-fungsi objektif yang memungkinkan
kensekuensi-konsekuensi dari alternatif tindakan dapat dibandingkan dengan
nilai-nilai subjektif mereka.
4. Aturan
keputusan
Para
pembuat keputusan harus memakai aturan-aturan untuk memilih sebuah alternatif
tindakan berdasarkan konsekuensi dan pereferensi mereka.
Dalam model pembuatan keputusan yang sempurna diasumsikan
bahwa pembuat keputusan mengetahui setiap alternatif dari suatu keputusan,
memahami masing-masing konsekuensinya, memiliki subjektif yang utuh tentang
konsekuensi-konsekuensi tersebut, dan pemilihan keputusan dilakukan dengan
menyeleksi alternatif yang mengandung nilai harapan tertinggi. Struktur asumsi
yang sama juga mendasari rekayasa keputusan modern. Nasihat yang dapat diajukan
bagi seorang pembuat keputusan publik tetap sejalan dengan standar rasionalitas
di atas yaitu: tentukan alternatif-alernatifnya; rumuskan dengan jelas
preferensi-preferensi anda; perkiraan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin
timbul dari setiap alternatif dan probabilitas kejadian; terakhir, pilih alternatif
yang memaksimalkan nilai yang diharapkan.
Para pejabat pembuat kebijakan hendaknya memiliki kemampuan
untuk belajar dari kesalahan yang pernah dibuat dan melihat setiap permasalahan
secara serius. Kearifan juga mengandungarti bahwa pembuat keputusan tidak
bertindak gegabah dan menganggap ringan suatu persoalan. Dalam hal ini Leys
mengemukakan tiga macam bahaya berikut ini dalam meninjau suatu isu kebijakan.
1. Bayaha
karena memecahkan masalah secara umum
Masalah-masalah
yang dijadikan contoh kasus teoritis dan dijadikan acuan etis oleh para penulis
atau pembuat keputusan terdahulu seringkali bersifat tipikal. Kesulitan timbul
karena sebagai masalah yang harus dihadapi oleh pejabat publik bukanlah masalah
tipikal. Di dalam setiap masalah, senantiasa terdapat sisi unik yang membedakan
masalah, senantiasa terdapat sisi unik yang membedakan kasus nyata dari
kasus-kasus tipikal yang pernah terjadi. Oleh karena itu, pengambilan kebijakan
yang baik tidak pernah memecahkan masalah secara umum. Pemecahan masalah tidak
dapat mengambil generalisasi sebagai pedoman, jadi kita tidak dapat memulai
pemecahan masalah dengan ungkapan “biasanya”, “menurut pengalaman yang
sudah-sudah”, “pada umumnya”, atau pengandai-andaian yang tidak objektif. Salah
satu unsur pokok pemilihan alternatif secara rasional adalah keseriusan dalam
menelaah persoalan.
2. Bahaya
kerena menerima secara buta teori-teori formal tentang pembutan kebijakan
Orang
yang dianggap sudah tahu banyak dan berpengalaman tetapi tidak akrab dengan
praktik pembuatan keputusan yang sesungguhnya masih akan menemui kegagalan.
Betapapun sempurnanya cara berfikir seseorang kalau hanya mengandalkan
teori-teori formal dia tidak akan menghasilkan keputusan-keputusan yang baik.
Seorang yang terlalu berpegang pada teori dan kaidah hukum formal akan gagal
mengantisipasi tiga hal berikut ini yang mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan.
a. Akumulsain
preseden dan kebiasaan-kebiasaan tak tertulis
Pembuat
keputusan yang kuang dekat dengan persoalan aktual akan gagal melihat situasi
yang sesungguhnya. Ini disebabkan karena interpretasi yang ditambahkan pada
sebuah sistem perundang-undangan akan semakin banyak, dan untuk menentukan inti
kaidah yang asli orang tentunya membutuhkan interaksi langsung dengan situasi
sehari-hari.
b. Pemerintah
yang tak tampak
Pemerintah
tak tampak adalah organisasi-organisasi swasta yang dengan kekuatan
finansialnya punya kemampuan untuk memberi “hadiah” atau “menghukum” para
politisi. Dan keputusan-keputusan yang memengaruhi kepentingan-kepentingan
swasta tertentu mungkin lebih banyak dibuat oleh keolompok-kelompok penekan
atau tokoh-tokoh lobby yang kuat.
c. Kemustahilan
operasional
Dalam
pemerintah, aktivitas yang dilakukan begitu banyak sehingga pejabat-pejabat
yang bertanggung jawab tidak melakukan pemeriksaan terperinci dan lebih sering
menandatangani laporan-laporan yang dibuat oleh bawahan. Kebanyakan pejabat
sudah tidak menguasai lagi pemecahan masalah pada tingkat operasional.
Kearifan dalam mengambil kebijakan publik ditentukan pula
oleh kesediaan aparat untuk tidak begitu saja mempercayai informasi yang datang
dari satu pihak. Setiap persoalan, lebih-lebih yang menyangkut kepentingan
masyarakat, perlu ditelusuri secara tuntas dengan segala konsekuensinya harus
diantisipasi sebelum keputusan dijatuhkan. Pejabat hendaknya tidak berpegang
pada laporan-laporan diats kertas yang diberikan oleh bawahan. Dia perlu
melihat tanggapan dari lembaga-lembaga yang lain, merujuk pada peraturan hukum
yang ada, melihat pemberitaan pers tentang masalah yang bersangkutan, mencermati
keluhan-keluhan warga masyarakat melalui rubrik-rubrik pembaca di surat kabar
atau pengaduan-pengaduan langsung, dan akhirnya mengambil keputusan berdasarkan
wawasan manejerial yang holistik.
D.
KODE
ETIK DALAM PELAKSANAAN ADMINISTRASI
NEGARA
Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja
dalam tugas-tugas administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti
dari kode etik itu sendiri mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan
suatu proses khusus. Akan tetapi seperti yang telah diuraikan kedudukan etika
administrasi negara berada di antara etika profesi dan etika politik sehingga
tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat
dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat politik. Hal yang
pertama-tama perlu diingat bahwa kode etik tidak membebankan sanksi hukum atau
paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanki atau
hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk
mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dari kode etik bukan dari
sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat, dan
nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan dan konvensi
suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari
diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka,
sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan. Dengn demikian pemakaian kode
etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personalianya memiliki
keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas pada kaum profesi karena
sesungguhnya setiap pekerjaan dan setiap
jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.
Dalam kode etik itu bisa menjadi sarana untuk mendukung
pencapaian tujuan organisasi kerena bagaimanapun juga organisasi hanya dapat
meraih sasaran-sasaran akhirnya kalau setiap pegawai yang bekerja di dalamnya
memiliki aktivitas dan perilaku yang baik. Seoarang birokrat dan penulis
mengatakan:
Kode
etik adalah suatu alat untuk menunjang pencapaian tujuan suatu organisasi atau
sub-organisasi atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu
organisasi. Sesuatu alat itu tentunya bisa saja diadakan kalau ia sudah
dirasakan perlunya ..... Pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik. Hukum
etik itu biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau kelompok, sebagai suatu
patokan tentang sikap mental yang wajib dipatuhi oelah para anggota dalam
perjalanan tugasnya.
Maka disamping berfungsi sebagai patokan-patokan sikap mental
yang idela bagi segenap unsur organisasi, kode etik dapat pula mendorong
keberhasilan organisasi itu sendiri. Organisasi akan berhasil jika para pegawai
memiliki inisiatif-inisiatif yang baik, teliti, jujur, dan memiliki loyalitas
yang tinggi. Kualitas-kualitas seperti inilah yang hendak dicapai melalui
perumusan dan pelaksanaan kode etik.
Manfaat lain yang akan didapat dari perumusan kode etik ialah
bahwa para aparat akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang
diperolehnya dari negara atas nama rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma
dalam kode etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah (incumbency obligation) diatas
kepentingan-kepentingannya akan karir dan kedudukan. Pejabat tersebut akan
melihat kedudukan sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik
mengandaikan bahwa para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung
nilai-nilai moral dan sekaligus pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam
tindakan-tindakan yang nyata. Dalam kaitan ini Fredericson dan Hart mengatakan:
.
. . . . public servant must be both moral
philophers and moral active, which would require: first, an understanding of,
and believe in, regime, and, second, a sense of extensive benevolence for the
people of the nation.
Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur,
tatakerja, dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi
pemerintah. Sabagai pelaksana kepentingan umum, para pejabat wajib mengutamakan
aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat tertentu.
Dan sebagai mansuia yang bermoral,
pejabat harus memperhatikan nilai-nilai etis di dalam bertindak dan
berperilaku. Dengan perkataan lain, seorang pejabat harus memiliki kewaspadaan
spiritual. Kewaspadaan profesional bearti bahwa dia harus menaati kaidah-kaidah
teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan kedudukan sebagai seorang
pembuat keputusan. Sedangkan kewaspadaan spiritual merujuk pada penerapan
nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana, dan hemat, tanggung
jawab, serta akhlak dan perilaku yang baik.
Mengenai rumusan eksplisit kode etik yang berlaku bagi setiap
pegawai atau pejabat pemerintah, ada banyak sumber yang bisa dilacak. Salah
satu sumber formal yang sering disebut adalah ketentuan mengenai Sapta KOPRI,
keputusan musyawarah Nasional KOPRI yang ketiga, No. Kep-05/MUNAS/1989 tanggal
1 Juni 1989 tentang penyempurnaan kode etik Korps Pegawai Republik Indonesia
bahkan dengan tegas menyatakan bahwa Sapta Prasetya inilah kode etik yang
diberlakukan bagi para pegawai. Selengkapnya prasetya tersebut berbunyi sebagai
berikut:
1. Kami
anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah warga negara Kesatuan Republik
Indonesia yang setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Kami
anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah pejuang bangsa taat kepada
negara dan pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan
Undang-Undang 1945
3. Kami
anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah unsur aparatur negara, abdi
negara, dan abdi masyarakat yang selalu mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat dari pada kepentingan pribadi atau golongan
4. Kami
anggota Korps Pegawai Republik Indonesia menjunjung tinggi kehrmatan bangsa dan
negara, bersikap jujur, bersemangat, bertanggung jawab, serta menghindarkan
diri dari perbuatan tercela
5. Kami
anggota Korps Pegawai Republik Indonesia senantiasa mengutamakan pelayanan
kepada masyarakat, berdisiplin, serta memegang teguh rahasia negara dan rahasia
jabatan
6. Kami
anggota Korps Pegawai Republik Indonesia mengutamakan persatuan-persatuan
bangsa, kesejahteraan masyarakat serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik
Indonesia
7. Kami
anggota Korps Pegawai Republik Indonesia senantiasa bekerja keras serta
berusaha meningkatkan pengetahuan dan kemampuan untuk kelancaran pelaksanaan
tugas.
Seorang pegawai atau pejabat akan mengucapkan atau bahkan
menghafal Sapta Prasetya maupun sumpah jabatan dengan mudah. Namun perenungan,
penghayatan, serta pengamalan dari apa yang mereka ucapkan itu yang jauh lebih
penting. Masalahnya adalah bahwa masing-masing orang sering tidak menggunakan
persepsi yang sama dalam menafsirkan butir-butir sumpah dan prasetya tersebut,
apalagi sejak semula rumusan-rumusan itu hanya dimaksukan sebagai gagasan dasar
saja. Oelah sebab itu untuk menerapkan kaidah-kaidah etis tersebut, para
pegawai perlu merujuk kepada peraturan-peraturan kepegawaian yang lebih
operasional. Salah satu peraturan yang memuat ketentuan yang lebih mudah
dipahami adalah Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di dalam peratuan imi diuraikan secara lebih
jelas hal-hal yang diharuskan dan dilarang dilakukan bagi pegawai atau pejabat
pemerintah. Utuk memberi peringatan dan mengajak para pegawai agar melaksanakan
prinsip-prinsip etika dalam tugas-tugasnya, kebanyakan instansi pemerintah
justru memasang peraturan disiplin ini, bukan Sapta Prasetya atau yang lainnya.
Di samping peraturan dan ketentuan diatas, unsur-unsur etis
yang langsunng menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang pegawai dapat dilihat
dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Berikut ini diuraikan kedelapan unsur penilaian
secara singkat:
1. Keseetiaan
Yang
dimaksud kesetiaan disini adalah ketaatan, pengabdian dan kesetiaan kepada
pancasila, UUD 1945, Negara, serta Pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan
pengabdian adalah penyumbangan pikiran dan tenaga secara ikhlas dengan
mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi dan golongan. Kecuali
dua pengertian ini ada pula konotasi kesetiaan yang berarti tekad dan
kesanggupan untuk menaati, melaksanakan, mengamalkan sesuatu yang disertai penuh kesadaran dan tanggung
jawab.
2. Prestasi
kerja
Prestasi
kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah:
a. Kecakapan
b. Keterampilan
c. Pengalaman
d. Kesungguhan
e. Kesehatan
3. Tanggung
jawab
Tanggung
jawab berarti kesanggupan seorang pegawai untuk menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan
sebaik-baiknya, tepat pada waktunya dan berani memikul resiko atas keputusan
yang dibuatnya. Bagian-bagian dari tanggung jawab adalah:
a. Menyelesaikan
tugas dengan baik dan tepat pada waktunya
b. Kesalahannya
tidak dilemparkan pada orang lain
c. Menyimpan
dan memelihara barang milik negara
d. Dalam
segala keadaan tetap berada ditempat
e. Mengutamakan
kepentingan dinas
f. Berani
dan ihklas memikul resiko
4. Ketaatan
Yaitu
kesanggupan seorang pegawai untuk menaati segala peraturan perundang-undangan,
peraturan kedinasan yang berlaku, pearaturan kedinasan dari atasan yang
berwenang serta sanggup tidak melanggar larangan yang ditentukan. Bagian-bagian
dari ketaatan adalah:
a. Menaati
peraturan kedinasan dari atasannya
b. Menaati
peraturan perundang-undangan yang ada
c. Memberikan
kepada masyarakat layanan sebaik-baiknya sesuai dengan bidang tugasnya
d. Menaati
ketentuan jam kerja dan sopan santun
5. Kejujuran
Yang
dimaksud dengan kejujuran adalah ketulusan hati dalam melaksanakan tugas serta
kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. Maka
kejujuran dapat dinilai dari keadaan berikut:
a. Melaksanakan
tugas secara ikhlas
b. Tidak
menyalah gunakan wewenangnya
c. Hasil
kerjanya dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
6. Kerja
sama
Yang
dimaksud disini adalah kemampuan seorang pegawai untuk bekerja bersama-sama
dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan sehingga
mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. Jadi nilai kerja sama
dapat diketahui bila seorang pegawai:
a. Mengetahui
bidang tugas orang lain yang ada hubungannya dengan tugas mereka
b. Mampu
menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat orang lain yang diyakini besar
c. Bersedia
mengambil keputusan yang diambil secara sah
d. Bersedia
mempertimbangkan usul orang lain
e. Mampu
berkerja bersama-sama orang lain
f. Menghargai
pendapat orang lain
7. Prakarsa
Inisiatif
atau prakarsa adalah kemampuan seorang pegawai untuk mengambil keputusan,
langkah-langkah serta melaksanakannya sesuai dengan tindakan yang diperlukan
dalam pelaksanaan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari atasan.
Bagian-bagian dari prakarsa adalah:
a. Berkemampuan
memberi saran kepada atasan
b. Berusaha
mencari tatacara kerja baru yang baik
c. Tanpa
menunggu perintah, berkemauan melaksanakan tugas
8. Kepemimpinan
Kepemimpinan
berarti kemampuan seorang pegawai atau pejabat untuk meyakinkan orang lain
sehingga dapat dikerahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok. Jadi
kepemimpinan merujuk kepada kemampuan manejerial dari para pegawai yang
memiliki bawahan dan atau memangku jabatan. Bagian-bagian dari kepemimpinan
adalah:
a. Berusaha
menggugah semangat dan menggerakkan bawahan
b. Berusaha
menumpuk dan mengembangkan kerja sama
c. Mampu
mengemukakan pendapatnya dengan jelas
d. Bersedia
mempertimbangkan saran-saran bawahan
e. Memperhatikan
nasib dan kemajuan bawahan
f. Mengambil
keputusan cepat dan tepat
g. Mengetahui
kemampuan bawahan
h. Menguasai
bidang tugasnya, bertindak tegas tanpa memihak, serta memberikan teladan yang
baik.
Dari banyak uraian tentang nilai-nilai etika yang ditujukan
untuk jajaran pegawai negeri, sangat terasa bahwa ungkapan-ungkapan yang
dipergunakan begitu formal dan kaku. Uraian –uraian tersebut sebagian besar
berisi daftar keharusan dan larangan tanpa ungkapan mengenai dasar-dasar
mengapa suatu tindakan diharuskan atau dilarang dan tanpa nuansa yang menyentuh
nurani. Uraian kode etik seperti itu mungkin memang efektif bagi para pegawai
rendahan yang hanya mengetahui ungkapan “ya” atau “tidak”. Tetapi bagi para
pegawai atau pejabat yang lebih memiliki pemikiran kritis, redaksi seperti itu
agaknya kurang menyentuh dan kurang mengajak untuk merenungi tindakan dan
perilaku mereka. Orang-orang seperti ini memerlukan reasoning atau pembenaran tindakan-tindakan etis dan memerlukan
suatu rumusan kode etik yang mengandung nuansa.
Demikianlah, kode etik mencoba merumuskan nilai-nilai etis
luhur kedalam bidang tertentu, dalam hal ini pada tugas-tugas administrasi
negara. Sudah barang tentu kode etik sekedar merupakn pedoman betindak.
Mengenai pelaksanaannya dalam perilaku nyata, tergantung kepada niat baik dan
sentuhan moral yang ada dalam diri pegawai atau pejabat sendiri. Namun karena
kode etik dirumuskan untuk penyempurnaan pekerjaan, mencegah hal-hal yang buruk, dan untuk kepentingan bersama, maka
setiap pegawai dan pejabat diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus.
Paham idealisme etik mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik
dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari
kebaikan, itu semata-mata karena itu tidak tahu norma untuk bertindak dengan
baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang menuju arah kebaikan. Yang
diperlukan adalah suatu peringatan dan sentuhan nurani yang terus menerus untuk
menggugah kesadaran moral dan melestarikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
dan interaksi antar individu.
E.
ETIKA
INDIVIDUAL DAN SOSIAL
1.
Etika Individual
Pada dasarnya, etika
individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri. Ada sementara
sosiolog yang berkeberatan memakai perkataan "individu" sebagai
sebutan bagi manusia yang berdiri sendiri, "manusia perseorangan"
(Lysen, 1984:8). F. Oppenheimer (1922), seperti dikutip Lysen, menamakan
individu itu suatu paham yang sangat problematis. Dan seperti Bergson, ia, kata
Lysen, mengemukakan pertanyaan, "Di mana mulainya dan di mana berakhirnya
asas hidup individu itu?" Kemudian ia sampai kepada kesimpulan, bahwa
dalam arti ilmu alam yang sebenarnya, individu itu hanya satu, yaitu
seluruh kehidupan yang luas yang meliputi ruang dan waktu; dan dalam arti
psikis baginya "individu" itu, terlebih lagi dalam arti biologis,
merupakan suatu paham yang sangat relatif dan gradual.
Dalam arti yang asli,
kata "individu" yang diturunkan dari kata Latin,
"individuum" itu berarti: yang tak terbagi. Jadi, sama halnya dengan
perkataan "atom" yang berasal dari bahasa Yunani dan mempunyai arti
demikian juga, maka kata "individu" tadi merupakan suatu sebutan yang
dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas.
Bagi ahli-ahli ilmu alam sekarang, atom itu bukan lagi bagian benda yang terkecil
yang tak dapat dibagi, seperti anggapan para penyelidik dahulu. Meskipun
demikian, mereka tetap bekerja dengan paham "atom" itu, dan pemecahan
atom yang dulu dianggap tak terbagi itu, bagi mereka tidak mengandung
pengertian yang bertentangan lagi (Lysen, 1984: 8-9).
Sama halnya dengan
paham "individu" dalam ilmu-ilmu sosial, penyelidikan-penyelidikannya
jarang atau tidak pernah mengenai manusia dalam keseluruhannya, yang terdiri
atas daging dan darah itu, dan tambahan pula mempunyai kehidupan jiwa yang
sangat majemuk. Hanya beberapa unsur dari manusia, terutama tabiatnya, yang
memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia.
Karena itu, perlu
diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak bisa dipisahkan satu
sama lain dengan tajam, karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai
anggota umat manusia saling berkaitan.
Menurut Bouman
(1980:15), salah satu kekhilafan yang sangat umum ialah anggapan, bahwa manusia
"menurut kodratnya" adalah egois dan bahwa ia mempunyai kebebasan
yang sangat luas. Tiap orang mengenal "aku"-nya sendiri, tetapi
sedikit orang yang menginsafi, betapa erat "aku" ini tergantung
kepada "kita". Manusia baru menjadi manusia, karena hidup bersama
dengan manusia yang lain. Juga pada waktu ia menyangka, bahwa ia menentang
sekelilingnya sampai pada dasar jiwanya.
Dalam
bukunya Psichology of Adjustment and Humanrelationships, Calhoun dan
Acocella (1990:312-313) menjelaskan secara rinci soal pengaruh-mempengaruhi
ini. Dikatakan, "... Anda mempengaruhi diri sendiri dari dalam ketika
anda sedang dipengaruhi dari luar. Anda memilih tekanan sosial diri anda
sendiri. Konsekuensinya, meskipun kekuatan pengaruh sosial besar sekali, anda
dapat memperoleh kebebasan pada tingkat tertentu."
Pengaruh sosial pada
dasarnya terjadi sewaktu kita berpikir atau bertindak sebagai tanggapan
terhadap tindakan sebelumnya dari orang lain. Bagaimana penyesuaian diri kita
dipengaruhi oleh proses pengaruh sosial langsung yang sangat kuat: peneladanan,
pencocokan, dan pembujukan? Satu kemungkinan jawabannya ialah bahwa pengaruh
ini merupakan ancaman terhadap penyesuaian yang baik tersebut; pengaruh itu
menyusup ke dalam prinsip kita dan merusak kejujuran dan kemandirian kita
(Ibid: 310).
Sikap ini sangat tunduk
terhadap pengaruh sosial. Sikap merupakan sekumpulan keyakinan dan perasaan
yang melihat mengenai objek tertentu, serta kecenderungan untuk bertindak
terhadap objek tersebut dengan suatu cara tertentu. Sikap memungkinkan memiliki
tiga fungsi penting dalam kehidupan sosial: mengorganisasikan pengalaman kita
, menegaskan keinginan kita terhadap persetujuan orang lain, dan melindungi
harga diri kita. Sikap datang dari pengalaman pribadi, pemindahan emosi yang
menyakitkan, serta pengaruh sosial, orang tua, teman sebaya, dan media massa
merupakan sumber penting dari pengaruh dalam pembentukan sikap.
Ada tiga proses utama
di mana orang bisa dipengaruhi. Pertama adalah pengambilan model,
meliputi mempelajari perilaku baru melalui jalan meniru orang lain. Peneladanan
adalah bentuk belajar yang agak khusus karena tidak bergantung kepada
penguatan eksternal. Semakin kuat orang itu, dan semakin memberi penghargaan
serta semakin mirip orang itu dengan si pengamat, maka semakin mungkin dia
dipilih sebagai teladan bagi si pengamat. Seperti alasan beberapa ahli teori,
jika perilaku dapat menimbulkan sikap, maka kita bisa menganggap bahwa sewaktu
kita mempelajari perilaku baru termasuk peneladanan, sikap yang baru akan
menyusul.
Proses kedua dari
pengaruh sosial adalah pencocokan. Mencocokkan berarti mengubah keyakinan
atau perilaku sesorang supaya sama dengan keyakinan dan perilaku kelompok.
Dalam istilah sosiologi, kelompok merupakan kumpulan individu yang mempunyai
tujuan yang sama, bertindak sesuai dengan peran masing-masing satu sama lain,
dan berinteraksi sesuai norma bersama. Penelitian Solomon Asch, seperti dikutip
Calhoun dan Acocella, menunjukkan kekuatan kecenderungan kita untuk melakukan
pencocokan. Teori perbandingan sosial dari Festinger menyatakan bahwa
pencocokan tersebut mungkin merupakan sebagian dari akibat kebutuhan orang
untuk menegaskan pendapat mereka dengan membandingkannya dengan pendapat orang
lain. Pencocokan dapat pula dikatakan konsekuensi dari kebergantungan kita
kepada orang lain. Ciri-ciri tertentu dari kelompok, masalah yang harus
diputuskan, dan individu membantu kemungkinan terjadinya pencocokan.
Pembujukan, penggunaan
pengaruh yang disengaja melalui penyampaian informasi, merupakan proses ketiga
dari pengaruh sosial. Ciri-ciri tertentu komunikator, pesan, dan komunikan
adalah penting dalam menentukan efektivitas pembujukan.
Bentuk khusus dari
pembujukan disebut propaganda, yang meliputi penggunaan informasi yang tidak
benar untuk maksud kepentingan diri sendiri. Perbedaan antara propaganda dan
pembujukan biasa, tidak jelas batasnya. Propaganda bersifat manipulatif,
tetapi pembujukan, juga demikian dalam tingkat tertentu.
Penyesuaian kita dengan
jelas dipengaruhi oleh kekuatan proses pengaruh langsung yang kuat. Kita tidak
dapat dan tidak akan mencoba menghindari proses tersebut seluruhnya, namun kita
tidak boleh membiarkan diri kita dikendalikan tanpa daya oleh proses itu.
Reaksi balik psikologis, penarikan kita kembali dari pengaruh yang mengancam
kebebasan kita, memilih, dapat berfungsi sebagai tanda bahwa pengaruh sedang
mendesak kita. Kita akan memberikan tanggapan terhadap tanda ini dengan
melakukan pendekatan aktif terhadap pengaruh -- yaitu, mempertimbangkan dan
kemudian memilih atau menolak pengaruh itu.
Akhirnya, mengapa etika
individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena kita
harus selalu mengaitkan hal ini kepada konsep diri. Konsepsi Mead, misalnya,
mengenai diri mengacu, dalam arti sepenuhnya, pada kesalingtergantungan antara
individu dengan masyarakat. Ia menempatkan diri di dalam masyarakat. Diri
muncul dari interaksi dengan orang lain di dalam masyarakat (Karp dan Yoels,
dalam Sunarto, Kamanto, ed., 1985:113).
2.
Etika Sosial
Pada dasarnya etika
sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia.
Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara langsung
maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis
terhadap pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab
manusia terhadap lingkungan hidup (Magnis-Suseno, dkk, 1981:8).
Sedikitnya, ada dua
masalah yang timbul dalam etika sosial (Zubair, 1990:105). Pertama, tujuan
etika itu memberitahukan bagaimana kita dapat menolong manusia dalam
kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat dipertanggungjawabkan.
Guna mencapai tujuan ini, seorang etikus sosial tidak hanya harus tahu
norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula kebutuhan
tersebut tadi, dan sebab-sebab timbulnya kebutuhan itu.
Masalah kedua, dalam
etika sosial lebih mudah timbul beragam pandangan dibandingkan etika
individual. Norma-norma harus selalu diterapkan pada keadaan yang konkret,
setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu melakukan
kebaikan.
Dalam kenyataan terbukti
bahwa tidak hanya ada satu kewajiban, melainkan pelbagai kewajiban. Sebabnya,
di dunia ini tidak hanya satu, tetapi ada beragam norma. Wajib yang beragam itu
tidak terlepas satu sama lain, tetapi bersatu dan berkaitan dan membentuk
sistem hirarki norma. Inilah yang dicoba untuk memecahkan persoalan apabila
ada benturan norma atau benturan kewajiban. Pengetahuan dan kesadaran terhadap
hirarki mana yang lebih tinggi sangat diperlukan dalam rangka ini.
Dalam kehidupannya,
secara pribadi dan sosial, manusia memerlukan sejumlah tujuan yang nonmaterial.
Setiap sistem kemasyarakatan memerlukan sejumlah tujuan yang jamak di antara
para individunya, yang tanpa itu kehidupan sosial, dalam pengertian yang
sebenarnya, tidak akan mungkin. Karena, kehidupan sosial berarti kerjasama dan
usaha mencapai tujuan-tujuan bersama, baik material maupun spiritual.
Tujuan bersama dari
sebagian manusia mungkin adalah material, seperti perusahaan-perusahaan dagang
dan industri, yang dibentuk oleh sejumlah orang yang menyediakan modal, dan
yang lainnya menyediakan tenaga kerja.Namun, menurut Mutahhari (1987:66),
masyarakat manusia tidak dapat dikelola seperti sebuah perusahaan, karena
basisnya sangat berbeda dengan perusahaan dagang. Sementara orang lain seperti
Bertrand Russell, dalam pandangan Mutahhari, menganggap basis etika sosial
hanyalah suatu kepentingan individual. Mereka memandang etika sosial sebagai
semacam kontrak antarindividu, yang mereka junjung tinggi sebagai alat yang
paling baik untuk melindungi kepentingan mereka.
Untuk menggambarkan
maksudnya, lanjut Mutahhari, Russell memberikan contoh seperti berikut. Ia
berkata: "Saya ingin memiliki sapi milik tetangga saya, tetapi saya tahu
bahwa bila saya melakukannya, ia akan merampas milik saya, dan tetangga lain
pun mungkin akan berbuat demikian. Jadi, saya bukannya mendapat keuntungan,
tetapi malahan menderita kerugian. Maka saya pikir, lebih baik saya menghormati
hak miliknya, dan membiarkannya tetap memiliki sapinya, supaya saya pun dapat
tetap memiliki kepunyaan saya."
Russell percaya bahwa
basis etika sosial adalah penghormatan terhadap hak-hak individual. Kita, ujar
Mutahhari, dapat mengatakan bahwa perampok pun mempunyai hubungan semacam itu,
ketika bersepakat untuk merampok dan memaksakan suatu jenis keadilan di antara
sesama mereka, karena mereka tidak dapat bertindaksendiri-sendiri. Itulah
filsafatnya. Motonya humanitarian, cinta kasih kepada sesama makhluk. Tetapi
filsafatnya berlawanan dengan itu. Dengan memandang kepentingan diri sendiri
sebagai basis etika sosial, kita akan menganggap seorang individu terpaksa
bekerja sama dengan orang-orang lain, karena ia takut akan reaksi orang lain
itu, apabila mereka mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang serupa. Tetapi,
apabila seseorang mencapai suatu tahap di mana ia yakin bahwa orang-orang lain
terlalu lemah untuk dapat menyakitinya, maka tidak akan ada perlunya memenuhi
prinsip-prinsip moral itu. Demikian kata Murthada Mutahhari.
selanjutnya, pembahasan
mengeni etika sosial ini dibatasi pada bidang-bidang yang, menurut
Magnis-suseno, dkk (1991:8), sekarang ini paling aktual. Bidang-bidang yang
dimaksud, meliputi: sikap terhadap sesama, etika keluarga, etika profesi,
etika politik, etika lingkungan hidup, dan kritik ideologi-ideologi. Pembahasan
keenam bidang tersebut berikut ini hanyalah sebagai pengenalan singkat, yang
untuk selanjutnya diperlukan pembahasan tersendiri secara lebih komprehensif.
F.
MORAL INDIVIDU DAN MORAL SOSIAL
Banyak dari masyarakat yang kurang memahami moral
sosial ( moral dalam kehidupan berbangsa), bahwa moral sosial tidak hanya
dilihat dari tatacara berpakaian atau tatacara tutur kata. Hakikinya Moral
sosial adalah sudut pandang dari cara berpikir. Perbedaan mendasar Moral sosial
dan moral agama adalah pada tujuannya, memang ajaran moral banyak terdapat
dalam kitab-kitab suci yang bila disimpulkan menjadi kaidah emas (golden rule)
namun prinsip kitab suci adalah aturan-aturan yang dibuat oleh Tuhan, juga
dengan harapan akan pengampunannya yang disertai Karma atau dalam agama
monoteis: surga dan neraka.
Maka moral agama adalah perbuatan yang akan
dipertanggung jawabkan nantinya terhadap hubungan manusia khusus dengan Tuhan.
Sedangkan moral sosial adalah tindakan kita terhadap manusia lain, dimana
perbuatan itu berdampak langsung dengan kehidupan antar sesama manusianya.
Tanggung jawab kita terhadap lingkungan sekitar.
Dimana tindakan bermoral atau amoral akan berdampak langsung dengan kehidupan
sekitar. Berbuat baik karena kita menginginkan kebaikan ada di dunia ini, atau
berbuat tindakan amoral/kesalahan, namun dengan meninggalkan sudut pandang
pembenaran (membenarkan kesalahan, menjadi sikap yang umum saja) dengan sudut
pandang moral, kesalahan tidak bias dengan pembenaran, kita menyadari bahwa
perbuatan tersebut adalah amoral, sehingga kesadaran tersebut akan mulai kita
perbaiki perlahan.
Hal prinsip akan gagasan moral sosial, adalah
meyakini agama yang kita yakini, tanpa menyalahkan agama lain, karena hak
tersebut adalah hak Tuhan, maka kita sebagai manusia yang hidup di bumi yang
bisa kita lakukan adalah saling menghormati harkat dan martabat sesama manusia.
Masyarakat pada umumnya memiliki standarisasi bahwa polapikir adalah logika,
kesalahan ini memiliki banyak faktor (sejarah peradaban, juga kolonialisme
termasuk ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg di eropa turut membesarkan
perkembangan Logika) para pemikir Logika dimulai dari era Thales (era yunani)
Ptolemius (ere helenic) St Thomas aquinas (era Baroque) samapai era renaissance
dimana para pemikir logika berkembang pada abad 15 dan didukung dengan penemuan
mesin cetak, sehingga kebiasaan membaca tidak lagi menjadi kalangan eksklusif,
namun mulai menyebar ke masyarakat umum di barat, juga faktor adanya era
kolonialisme yang dimualai abad ke 16, dalam gagasan westernisasi penduduk lokal,
termasuk mengedepankan logika.
Sedangkan pemikir moral para pemikir dari timur:
Saya kutip pembahasan dari bukunya Jan Romein , buku Aera- Europa.. di sebutkan
(bahwa , dunia pernah mengalami krisis moral global (300-500 bc) kemudian
datanglah beberapa orang yang berusaha mengatasi krisis tersebut : di cina ada
Lao tse dan Confusius (Kong hucu) di india ada Sidharta Gautama, di persia ada
Zarathustra, di mesir ada Akhenaton (satu2nya pharaoh yg percaya akan satu
Tuhan/monoistic) mereka semua mengharapkan agar terbentuknya pola pikir
berdasarkan moralitas, kembali ke masa awal dimana manusia tunduk kepada Tuhan).
Namun
karena pemikir besar moral terwakili menjadi agama, maka manusia merasa tabu
untuk membuka buku-buku para pemikir tersebut, beda dengan mudahnya kita
membaca buku etika Aristoteles atau sang pangeran Nicollo Machiavelli atau
Spinoza. Disinilah sekatan- sekatan ajaran moral terbentur, sekatan yang dibuat
oleh manusianya sendiri.
Beberapa perbadingan moral sosial dengan berbagai
macam sudut pandang sebagai berikut:
1.
Antara Moral Sosial dan Budaya
Banyak
dalam kebiasan budaya atau adat istiadat atau kebijakan kuno yang sudah berumur
lebih lama dari keberadaan sebuah bangsa, dalam hal ini Indonesia. Sebuah
contoh : pandangan mengukur / menakar orang dari bebet bibit bobot.. ini sudah
tidak memiliki korelasi lagi terhadap perkembangan moral sosial, dimana kita
melihat sifat sesama manusia berdasarkan caranya bersikap, bukan bebet bibit
bobotnya. Juga seperti falsafah-falsafah lain yang sudah tak memiliki kekuatan
dalam menyeimbangan derasnya era globalisasi, maka langkah progresive moral
sosial pun sangat berhubungan dengan budaya lokal.
2.
Antara Moral Sosial dan identitas bangsa
Bangsa-bangsa di belahan bumi lain yang umurnya
sudah lebih panjang, memiliki kecendrungan memiliki karakter yang sama terhadap
polapikir masyarakatnya, seperti polapikir USA yang sangat eropa sekali ( asal
usul pendatang ) juga karakter bangsa Jepang dan India yang sudah begitu kental
dikarenakan budaya-budaya kuno atau kisah-kisah legenda yang sudah terpatri
didalam pikiran setiap masyarakatnya, sehingga membentuk menjadi identitas
bangsanya.
Dalam hal Indonesia, mengingat usia Indonesia yang
masih muda ( 66 tahun ) yang sebelumnya adalah kerajaan-kerajaan lokal. Maka
budaya yang ada di Indonesia adalah budaya sumatra atau budaya kalimantan,
budaya jawa, budaya sulawesi dan seterusnya, budaya yang jauh lebih tua
keberadaannya dari keberadaan negara Indonesia ( hal yang lumrah mengingat
negara Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia).